“Sampai detik ini, saat Suharto sudah menemui ajal dan dikuburkan
di kompleks pemakaman keluarga di Kompleks Astana Giribangun. Makam ini
dibangun di atas sebuah bukit, tepat di bawah Astana Mangadeg, komplek
pemakaman para penguasa Mangkunegaran, salah satu pecahan Kesultanan Mataram.
Astana Mangadeg berada di ketinggian 750 meter dpl, sedangkan dibawahnya,
Astana Giribangun pada 666 meter dpl.
Perampokan
atas seluruh kekayaan alam negeri ini masih saja terus berjalan dan dikerjakan
dengan sangat leluasa oleh berbagai korporasi Yahudi Dunia.”
“Ketika tepat
100 tahun gerakan Zionisme Internasional merayakan
kelahirannya, dan salah seorang pengusaha Yahudi dunia bernama George
Soros memborong mata uang dollar AS
dari pasar uang dunia, maka meletuslah krisis keuangan yang berawal dari
Thailand dan terus merembet ke Indonesia."
Bulan
November 41 tahun lalu, Jenderal Suharto yang telah sukses mengkudeta Bung
Karno, mengirim satu tim ekonomi yang terdiri dari Prof. Sadli, Prof. Soemitro
Djoyohadikusumoh, dan sejumlah profesor ekonomi lulusan Berkeley University AS,
sebab itu tim ekonomi ini juga disebut sebagai ‘Mafia Berkeley’. Mereka hendak
menggelar pertemuan dengan sejumlah konglomerat Yahudi dunia yang dipimpin
Rockefeller.
Menjual
Aset Kekayaan Alam Negara Kepada Pihak Asing
Di Swiss, sebagaimana bisa dilihat dari film dokumenter karya
John Pilger berjudul “The New Ruler of the World’ (yang bisa didownload di situs youtube)
tim ekonomi suruhan Jenderal Suharto ini menggadaikan seluruh kekayaan alam
negeri ini ke hadapan Rockefeler cs.
Dengan seenaknya, mereka mengkavling-kavling bumi Nusantara dan
memberikannya kepada pengusaha-pengusaha Yahudi tersebut.
Gunung emas di Papua diserahkan kepada Freeport, ladang minyak
di Aceh kepada Exxon, dan sebagainya.
Undang-Undang
Penanaman Modal Asing (UU PMA) tahun 1967 pun dirancang di Swiss, menuruti
kehendak para pengusaha Yahudi tersebut.
Tapi siapa sangka, walau sudah banyak sekali buku-buku ilmiah
yang ditulis para cendekia dari dalam dan luar negeri tentang betapa bobroknya
kinerja pemerintahan di saat Jenderal Suharto berkuasa selama lebih kuarng 32
tahun, dengan jutaan fakta dan dokumen yang tak terbantahkan, namun nama
Suharto masih saja dianggap harum oleh sejumlah kalangan.
Bahkan ada yang begitu konyol mengusulkan agar sosok yang oleh
Bung Karno ini disebut sebagai Jenderal Keras Kepala (Belanda: Koepeg)
diberi penghargaan sebagai pahlawan nasional dan diberi gelar guru bangsa.
Walau menggelikan, namun hal tersebut adalah fakta.
Penyiksaan
dan Pembunuhan Rakyat Hingga Tokoh-Tokoh Agama
Usai Tragedi
Priok, rezim Suharto sepertinya menemukan momentum untuk kian
bertindak represif terhadap dakwah Islam. Intel disebar ke berbagai masjid
untuk memata-matai khotib.
Jika ceramah sang khotib dianggap sedikit keras maka langsung
ditangkap dan dipenjara. Hal inilah yang menimpa salah satunya, Hasan Kiat, khotib dari
Priok yang hanya karena ceramahnya tegas dalam akidah Islam ditangkap aparatnya
Suharto. Dalam
tahanan pada masa Suharto, penyiksaan sudah menjadi santapan keseharian. Ustadz
Zubir dari Kalibaru disiksa terus hingga dia meninggal dunia.
Seorang
tapol Islam bernama Robby giginya digerus pakai gagang pistol, nyaris rontok
semua. Sedang Tasrif Tuasikal, terpidana kasus Priok, dadanya ditusuk bayonet. Alhamdulillah,
dia kuat,” ujar Hasan Kiat kepada penulis pada tahun 1998.
Oleh
aparatnya Suharto, walau tahu jika para tahanannya adalah orang-orang shalih,
para ustadz, para aktivis masjid, dan sebagainya, namun untuk memberatkan
mereka, aparat berusaha keras mengkaitkan mereka ini dengan PKI. Ini dinyatakan
Hasan Kiat yang mengalami sendiri hal seperti itu.
Tragedi Aceh, Tanjung Priok, Lampung, hanyalah sebagian kecil
kejahatan kemanusiaan yang dilakukan penguasa rezim Suharto terhadap umat
Islam.
Belum lagi tragedi lainnya yang tidak kalah mengerikan seperti
yang ditimpakan pada rakyat Timor-Timur, Papua, Kedungombo, dan sebagainya.
Seperti
kata orang bijak, kehidupan ibarat roda yang berputar. Maka ada saat naik, ada
pula saat turun. Demikian juga dengan kekuasaan Jenderal Suharto.
“Rezim yang lahir dari genangan darah jutaan rakyatnya ini
dengan dukungan penuh dari blok imperialis dan kolonialis Barat, mengalami
“masa keemasan” di akhir tahun 1960-an hingga semester kedua tahun 1990-an.”
Selama
hampir sepertiga abad, Jenderal Suharto menjadi presiden dengan kekuasaan
nyaris absolut bagaikan raja atau pun diktator. Siapa pun yang berani
berseberangan keyakinan dan pandapat dengannya, walau ia bekas teman paling
setia pun, pasti akan disingkirkan.
“Di masa awal kekuasaannya, rezim ini menggadaikan kekayaan alam
bangsa yang sedemikian besar kepada jaringan korporasi Yahudi sekaligus
merancang cetak biru perundang-undangan penanaman modal asing Indonesia di
Swiss (1967).”
Langkah ini diikuti dengan “stabilisasi” perekonomian dan
politik di dalam negeri, dengan campur tangan penuh kekuatan imperialis dan
kolonialis dunia seperti Amerika Serikat dan Jepang.
Terhadap dakwah Islam, rezim Jenderal Suharto bersikap sangat
keras. Walau di awal naiknya kekuasaan, umat Islam sempat digandeng dengan
mesra, namun setelah berkuasa, umat Islam ditendang keluar dari pusat
kekuasaan.
Dakwah Islam menjadi barang haram dan bahkan menjadi sasaran
operasi intelijen di bawah komando Jenderal Ali Moertopo hingga Jenderal
Leonardus Benny Moerdhani.
“Sepanjang tahun 1970-an, rezim Jenderal Suharto menikmati masa
kejayaan dan kemakmuran dengan ‘Oil
Booming’nya. Di sisi lain, korupsi, kolusi, dan nepotisme juga
tumbuh dengan sangat subur.”
Cendana, nama jalan tempat tinggal Suharto di kawasan Menteng,
Jakarta, menjadi pusat dari peredaran keuangan di negeri ini. Dan banyak orang
yang haus kekuasaan dan juga kekayaan secara gerilya maupun terang-terangan,
juga merapat ke Cendana.
Pada akhir tahun 1980-an dan awal 1990-an, seiring perubahan
kepentingan politis Amerika Serikat, di mana era perang dingin sudah bisa
dikatakan berakhir dengan tumbangnya Uni Soviet dan imperium komunis di Eropa
Timur, maka berubah pula orientasi politis dari rezim Jenderal Suharto. Walau
demikian “stabilitas politik dan ekonomi” serta “Pancasila” masih menjadi tuhan
yang tidak boleh diganggu gugat.
Dakwah
Islam yang sudah puluhan tahun ditindas dengan amat represif, perlahan-lahan
simpulnya dikendurkan oleh Suharto. Banyak kalangan menyebut Suharto sudah
bertobat dan akan khusnul khotimah.
Atribut-atribut keislaman seperti peci putih, sorban, dan jubah
mulai dikenakan oleh Jenderal yang tangannya berlumuran darah jutaan rakyatnya
ini. Jilbab secara perlahan juga mulai berkibaran di seantero negeri.
Tokoh-tokoh
Islam dengan cepat dan sedikit gegabah, menyebut hal ini sebagai kebangkitan
Islam di Indonesia, padahal baru sebatas kulit luarnya saja.
Membentuk
Tradisi Korupsi, Kolusi dan Nepotisme
Sedangkan
‘tradisi’ KKN tetap dilestarikan bahkan sekarang sudah mengalami inovasi yang
sangat luar biasa. Ke masjid sering, namun tetap saja gila memburu
proyek-proyek yang sarat dengan mark-up anggaran dan sebagainya.
“Yoshihara
Kunio, yang meneliti hubungan bisnis dan politik kekuasaan di Asia Tenggara,
termasuk Indonesia, menerbitkan bukunya yang akhirnya dilarang beredar oleh
Suharto. Buku tersebut berjudul “Kapitalisme Semu Asia
Tenggara”. Untuk Indonesia, Kunio menyatakan jika pondasi perekonomian
bangsa ini sebenarnya sangat rapuh karena dibangun berdasarkan praktik KKN
semata.
Sedangkan para pengusaha kecil-menengah yang lokal, nyaris hidup
sendiri tanpa adanya suatu proteksi atau pun perlindungan khusus dari
pemerintah. Akibatnya, kian hari kian banyak perusahaan lokal yang dicaplok
oleh korporasi asing.
Sebab itu, ketika tepat 100 tahun gerakan Zionisme Internasional
merayakan kelahirannya, dan salah seorang pengusaha Yahudi dunia bernama George
Soros memborong mata uang dollar AS dari pasar uang dunia, maka meletuslah
krisis keuangan yang berawal dari Thailand dan terus merembet ke Indonesia.
Harga
membubung tinggi dan banyak pengusaha hasil KKN ambruk. Jahatnya, para
konglomerat kakap yang amat dekat dengan Cendana malah melarikan diri ke luar
negeri dengan membawa uang rakyat Indonesia dengan nilai yang amat sangat
banyak.
Uang hasil BLBI yang jumlahnya ratusan triliun rupiah dijarah
dan tidak pernah dikembalikan hingga detik ini. Indonesia meluncur pasti menuju
kebinasaan.
Juga emas batangan dan perhiasan yang jumlahnya berton-ton hasil
sumbangan segenap rakyat Indonesia untuk bangkit dari krisis moneter 1998 juga
tak berbekas sama sekali, kemana larinya semua emas sumbangan rakyat tersebut?
Empat
Jenderal Kepercayaan Suharto
Selama kekuasaan diktator sekaligus rezim Suharto, ada beberapa
Jenderal yang disebut-sebut setia kepadanya karena Soeharto menggunakan tentara
untuk melanggengkan kekuasaannya. Ada empat jenderal andalan Soeharto dan
mereka loyal serta mau melakukan apa saja demi menjaga kekuasaan Orde Baru.
Para
jenderal ini memiliki kekuasaan yang nyaris tak terbatas. David Jenkins,
wartawan Australia yang menulis buku “Suharto dan His Generals:
Indonesia Military Politics 1975-1983”, menyebut empat
jenderal ini sebagai para jenderal lingkaran dalam Soeharto.
Ciri-cirinya, dekat secara pribadi, bukan sebatas tugas.
Memiliki peran di bidang intelijen, serta memiliki jabatan rangkap di bidang
strategis. Saat itu yang melawan Soeharto langsung diberangus.
Empat jenderal ini pula yang ‘menghabisi’ lawan-lawan Orde Baru,
seperti Jenderal Nasution, Letjen Ali Sadikin, Jenderal Hoegeng dan para
penentang Soeharto lainnya. Keempat Jenderal terdekat Suharto tersebut adalah:
1.
Jenderal Benny Murdani
Jenderal Benny Murdani menjabat Kepala Pusat Intelijen
Strategis (Kapusintelstrat) sekaligus wakil kepala Bakin merangkap Asisten 1
Intelijen Hankam. Tiga jabatan strategis di dunia intelijen Indonesia.
Dengan
kewenangan itu, Benny punya kuasa menggerakkan pasukan elite baret merah TNI AD
yang kala itu bernama Kopasandha.
Sepak terjang Benny di antaranya memimpin operasi pembebasan
sandera Woyla di Thailand serta membeli pesawat tempur A4 Skyhawk dari Israel.
Benny diangkat menjadi Panglima ABRI. Secara pribadi dia sangat
dekat dengan Soeharto. Karirnya disebut-sebut berhenti saat dia meminta Soeharto untuk
menegur anak-anaknya yang mulai kebablasan di bidang ekonomi. Soeharto marah
dan mencopot jenderalnya yang setia ini.
2. Laksamana Sudomo
Sudomo mengenal
Soeharto sejak lama. Mulai dari operasi Trikora, dimana Mayjen Soeharto
menjabat Panglima Mandala. Ketika itu Soedomo memimpin seluruh kekuatan matra
laut dalam komando Mandala. Selama operasi, otomatis Sudomo berada langsung di
bawah Soeharto.
Setelah
itu, hubungan keduanya makin erat. Sudomo bahkan sempat menempati posisi nomor
satu di tubuh TNI AL tahun 1969-1973 sebagai kepala staf. Dia kemudian dipilih
menjadi Wakil Panglima Panglima Kopkamtib mendampingi Soemitro. Kemudian
menjadi Kopkamtib.
Sudomo pula yang ‘menghajar’ para Petisi 50 yang mengkritik
Soeharto. Dia ikut mencekal Jenderal Hoegeng tampil di TV. Mungkin karena kesal
dengan Sudomo ini, Hoegeng kemudian memberi nama orangutan miliknya dengan nama
Pak Domo.
3. Letjen Ali Murtopo
Letjen Ali Murtopo menjabat
wakil kepala Bakin. Dia sangat dekat dengan Soeharto, semenjak masih berada di
Kodam Diponegoro Jawa Tengah. Ali
Murtopo seorang ahli intelijen. Dia pernah memimpin tim untuk meredakan konflik
Indonesia dan Malaysia pada era Dwikora.
Lalu dia juga yang diduga membuat
islamphobia di Indonesia. Ali Murtopo mengumpulkan sejumlah pejuang Negara Islam Indonesia
(NII), kemudian melakukan radikalisasi. Kelompok ini pula yang kemudian
melakukan sejumlah perampokan dan pembajakan, termasuk pembajakan pesawat
Woyla. Banyak yang menuding pembajakan tersebut cuma rekayasa Intelijen. Ali Murtopo juga yang mendirikan Center for Strategic and International
Studies (CSIS) yang menjadi dapur kebijakan pemerintahan Orde Baru.
4. Jenderal Yoga Sugama
Jenderal
Yoga Sugama menjabat Kepala Badan Koordinasi Intelijen Negara (Bakin). Yoga
dekat dengan Soeharto sejak Soeharto menjadi Panglima Kodam Diponegoro di Jawa
Tengah. Saat Soeharto menjadi Pangkostrad, Yoga dan kawan kawannya ikut diajak
ke Jakarta.
Hubungan Yoga dan Soeharto sangat dekat. Yoga dikenal sebagai
orang yang menjauhi publistitas. Yoga Sugama juga pernah bertugas sebagai Duta
Besar/Wakil Kepala Perwakilan Tetap RI di PBB, New York, Amerika Serikat
(1971-1974).
Suharto Lengser Tahta Tahun 1998
Dari
berbagai tekanan yang dilakukan mahasiswa, sejumlah pejabat, dan pastinya juga
Washington, Presiden Suharto akhirnya lengser pada Mei 1998. Euphoria gerakan reformasi meledak. Habibie
jadi presiden, diganti Abdurrahman Wahid, lalu Megawati, dan kemudian Susilo
Bambang Yudhoyono.
“Gerakan
reformasi sudah berusia puluhan tahun lebih, namun di lapangan, praktik-praktik
peninggalan rezim Suharto, yaitu KKN ternyata bukan berkurang namun malah
tambah marak dan inovatif dengan berbagai dalih dan hujjah.”
Malah sejumlah tokoh yang mengaku reformis, dari yang sekuler
sampai yang katanya fundamentalis, kini nyata-nyata mendekati Cendana kembali
yang memang masih memiliki kekayaan materil yang luar biasa.
“Mereka beramai-ramai mengangkat Suharto sebagai orang yang
patut diteladani dan bahkan dikatakan sebagai Guru Bangsa. Panglima besar KKN
malah dijadikan Guru Bangsa. Ini merupakan sesuatu yang “amat hebat dan sungguh
fantastis”.
Hal ini
membuktikan kepada kita semua, betapa gerakan reformasi tenyata telah gagal
total. Para Suhartois masih kuat bercokol di negeri ini.
Hari-hari menjelang Pemilu 2009 lalu kita bisa melihat dengan mudah siapa saja
orang-orang Indonesia, baik itu yang sekular maupun yang mengklaim sebagai
reformis, yang sesungguhnya Suhartois.
Mereka membuka topengnya lewat iklan, lewat manuver politik, dan sebagainya.
Koruptor
satupun tak ada yang ditangkap, masuk bui tanpa adanya pengadilan bahkan salah
pun tidak, penyiksaan dan pembunuhan terus berlangsung, secara total jutaan
rakyat tewas. Tidak adanya keadilan adalah suatu yang NYATA. Namun kecanggihan
merubah pola pikir atau cuci otak di zaman Suharto ini memang INTI dari semua
managemen yang telah dilakukannya.
Saat itu, memang Indonesia jadi memiliki suatu faham
pemerintahan yang “aneh”. Disatu sisi Indonesia berhalauan demokrasi dan
berteman dengan kapitalis barat yang mengeruk kekayaan alam Indonesia dengan
leluasa asalkan si pengeruk mau memberi “upeti” kepada penguasa.
Namun disisi lainnya, faham yang digunakan mirip sekali dengan
sosialis dalam hal hak dan informasi kepada rakyat, mirip Korea Utara yang
rakyatnya hingga detik disaat anda membaca artikel ini, mereka masih tetap tak
tahu informasi apa-apa, iya, tak tahu dunia luar. Mirip era Suharto.
Kita lihat saja nanti, sebuah inkubator dan contoh kecil yaitu
Korea Utara yang rakyatnya masih tetap merasa senang dan nyaman oleh rezim
penguasa, hingga suatu saat rezim tersebut tergantikan dengan pemimpin yang
demokratis, maka akan rusak mentalnya dan akan menganggap masa seperti disaat
ini adalah saat yang paing enak, buta informasi. Maka disaat inilah rakyat
Korea Utara sedang dicuci otaknya (brainwashed)
selama puluhan tahun! sekali lagi, paling tidak 50% mirip era Orde Baru rezim
Suharto pada masa lalu, buta informasi dunia!
Namun
para Suhartois menganggap
zaman Suharto adalah zaman “enak”. Mengapa? Karena kebodohan, karena
ketidak-mengertian, pada masa itu para koruptor sedang diatas angin untuk
mengeruk dan menumpuk kekayaan dan rakyat pun dibuatnya terlena nyaman dan tak
tahu bagaimana sebenarnya perkembangan dunia secara global diluar sana. Karena
semua media disaring, semua berita disaring, bahkan hanya
ada satu televisi hingga tahun 90-an dan itupun milik pemerintah.
Begitu pula berita melalui radio pun disaring dan setelah semua
berita tersaring, maka WAJIB di “relay” ke semua stasiun radio seantero
Indonesia. Terpusat, tersentral dari Jakarta. Lagi pula, semua berita selalu,
selalu dan selalu baik. Tanpa cacat pemerintahan, sempurna. Rakyat pun hidup
terlena.
Bagaimana dengan koran dan majalah serta media informasi
lainnya? Jawabannya hanya satu: bernasib sama. Tiada yang berani mengeritik
pemerintah walau seujung jari, apalagi untuk mengungkapkan suatu protes atau
ketidak-sukaan. Bagaimana dengan hak untuk berdemonstrasi dan mengungkapkan
pendapat? Tak perlu dijawab!
Satu-satunya TV lainnya, selain TVRI adalah TVRI Programa-2,
sama juga milik TVRI, tapi Pro-2 menyiarkan berita kota secara lokal dan kadang
disisipi dengan penyiar dengan bahasa Inggris.
Memulai Keterbukaan Informasi Media Tentang
Dunia, Adalah Awal Berakhirnya Rezim Orde Baru
Akhirnya pada masa tahun 90-an informasi mulai terbuka dengan
diawali anak-anaknya mulai melirik bisnis TV swasta. Setelah salah satu anaknya
ingin membuat TV swasta karena dianggap sangat menguntungkan dan sangat
menggiurkan serta menjanjikan secara ekonomis, namun Suharto tetap melarangnya
karena takut rakyatnya tahu dunia luar dan akan membandingkannya dengan keadaan
Indonesia.
Maka
untuk menghindari hal itu, dibuatlah TV yang berawal untuk dunia pendidikan
saja yaitu Televisi Pendidikan Indonesia (TPI). Stasiun ini sama dengan TVRI,
dari perangkatnya, alat siarnya, studionya, menaranya, hampir semuanya, tapi
programnya berbeda karena untuk pendidikan anak-anak dan kaum muda.
TPI pertama kali mengudara pada 1 Januari 1991 selama 2 jam dari
jam 19.00-21.00 WIB. TPI diresmikan Presiden Soeharto pada 23 Januari 1991 di
Studio 12 TVRI Senayan, Jakarta Pusat.
Pada awal pendiriannya tahun 1991 TPI hanya ingin menyiarkan
siaran edukatif saja. Saat itu TPI hanya mengudara 4 jam. Salah satunya dengan
bekerjasama dengan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan menyiarkan materi
pelajaran pendidikan menengah.
Sejak
itu TPI mengudara 4 jam, lalu sejak 1 Juni 1991 menjadi 6,5 jam. Lalu menjelang
akhir 1991 sudah 8 jam.
Pada tahap awal pendiriannya, TPI berbagi saluran dengan
televisi milik pemerintah, TVRI. Perlahan-lahan mereka mengurangi misi
edukatif, dengan juga menyiarkan acara-acara lain, termasuk kuis-kuis dan
sinetron sebagai selingan.
Walau isi awalnya hanya untuk kaum pelajar dan mahasiswa, namun
iklan terus mengalir karena masyarakat mulai membandingkan, jenuh dan bosan
mulai mewarnai stasiun TVRI, yang beritanya itu-itu saja.
TPI
berpisah saluran dengan TVRI di pertengahan 90-an. Kini, program edukasi tersebut
sudah tergusur, dan TPI fokus di program acara musik dangdut, seolah acara lain
yang disebut ‘makin Indonesia’ dalam motto barunya seakan tenggelam oleh hingar
bingar acara dangdut di TPI. Bahkan TPI sebagai kependekan dari Televisi
Pendidikan Indonesia sudah
tidak berlaku lagi.
Dalam website resmi TPI, disebutkan TPI adalah Televisi Paling Indonesia, sesuai
dengan misi barunya, yakni menyiarkan acara-acara khas Indonesia seperti
tayangan sinetron lokal dan musik dangdut.
Sejak
20 Oktober 2010, TPI resmi berganti nama menjadi MNCTV. Perubahan ini terjadi
dikarenakan TPI tidak sesuai dengan konteks tertulis pada televisi tersebut
yaitu menjadi salah satu televisi yang berbau pendidikan di Indonesia, dan oleh
karena itu nama TPI berubah menjadi MNCTV untuk mengubah citra TPI di mata
masyarakat.
Lalu televisi swasta kedua pun muncul setelah TPI, yaitu
Rajawali Citra Televisi Indonesia (RCTI) kemudian diikuti dengan beberapa
stasiun televisi lainnya seperti SCTV. Maka, informasipun mengalir dengan
derasnya dan rakyat pun mulai membandingkan.
Dulu di era Orde Baru, berita lokal melalui TV dan radio selalu
dimatikan oleh pemirsa dan pendengarnya, satu yang disukai hanyalah Dunia Dalam
Berita dan itupun juga tak luput dari penyaringan berita. Berbeda dengan sekarang yang beritanya jauh lebih realistis dan
updated bahkan membuat pemirsanya “kecanduan”.
Artinya,
suatu saat kedepannya nanti setelah Suharto dilengserkan dengan cara apapun,
dikala Indonesia hancur lebur dan luluh lantak dalam krisis keuangan, krisis
mental, dan krisis keamanan serta krisis keadilan, maka Suharto akan tetap
disanjung. Inilah inti dari semuanya. Intinya. Inti. Dan nyatanya memang banyak
warga Indonesia yang terbukti telah berubah pola pikirnya.
Ketika Indonesia mulai menjadi Kapitalis sejak Zaman Orde Baru (New Order) di era
Suharto yang sudah “menjual” aset kekayan alam Indonesia kepada pihak asing,
maka siapapun Presiden Indonesia kedepannya, takkan bisa berkutik lagi
terhadap Dunia Barat hingga ke depannya, entah sampai
kapan dan dengan batas waktu yang Tak Bisa Ditentukan.