Jumat, 11 Maret 2016

Kapitalisasi di Masa Rezim Orde Baru

“Sampai detik ini, saat Suharto sudah menemui ajal dan dikuburkan di kompleks pemakaman keluarga di Kompleks Astana Giribangun. Makam ini dibangun di atas sebuah bukit, tepat di bawah Astana Mangadeg, komplek pemakaman para penguasa Mangkunegaran, salah satu pecahan Kesultanan Mataram. Astana Mangadeg berada di ketinggian 750 meter dpl, sedangkan dibawahnya, Astana Giribangun pada 666 meter dpl. 
Perampokan atas seluruh kekayaan alam negeri ini masih saja terus berjalan dan dikerjakan dengan sangat leluasa oleh berbagai korporasi Yahudi Dunia.”

“Ketika tepat 100 tahun gerakan Zionisme Internasional merayakan kelahirannya, dan salah seorang pengusaha Yahudi dunia bernama George Soros memborong mata uang dollar AS dari pasar uang dunia, maka meletuslah krisis keuangan yang berawal dari Thailand dan terus merembet ke Indonesia."

Bulan November 41 tahun lalu, Jenderal Suharto yang telah sukses mengkudeta Bung Karno, mengirim satu tim ekonomi yang terdiri dari Prof. Sadli, Prof. Soemitro Djoyohadikusumoh, dan sejumlah profesor ekonomi lulusan Berkeley University AS, sebab itu tim ekonomi ini juga disebut sebagai ‘Mafia Berkeley’. Mereka hendak menggelar pertemuan dengan sejumlah konglomerat Yahudi dunia yang dipimpin Rockefeller.
Menjual Aset Kekayaan Alam Negara Kepada Pihak Asing


Di Swiss, sebagaimana bisa dilihat dari film dokumenter karya John Pilger berjudul “The New Ruler of the World’ (yang bisa didownload di situs youtube) tim ekonomi suruhan Jenderal Suharto ini menggadaikan seluruh kekayaan alam negeri ini ke hadapan Rockefeler cs.

Dengan seenaknya, mereka mengkavling-kavling bumi Nusantara dan memberikannya kepada pengusaha-pengusaha Yahudi tersebut.
Gunung emas di Papua diserahkan kepada Freeport, ladang minyak di Aceh kepada Exxon, dan sebagainya.
Undang-Undang Penanaman Modal Asing (UU PMA) tahun 1967 pun dirancang di Swiss, menuruti kehendak para pengusaha Yahudi tersebut.
Tapi siapa sangka, walau sudah banyak sekali buku-buku ilmiah yang ditulis para cendekia dari dalam dan luar negeri tentang betapa bobroknya kinerja pemerintahan di saat Jenderal Suharto berkuasa selama lebih kuarng 32 tahun, dengan jutaan fakta dan dokumen yang tak terbantahkan, namun nama Suharto masih saja dianggap harum oleh sejumlah kalangan.
Bahkan ada yang begitu konyol mengusulkan agar sosok yang oleh Bung Karno ini disebut sebagai Jenderal Keras Kepala (Belanda: Koepeg) diberi penghargaan sebagai pahlawan nasional dan diberi gelar guru bangsa. Walau menggelikan, namun hal tersebut adalah fakta.

Penyiksaan dan Pembunuhan Rakyat Hingga Tokoh-Tokoh Agama

Usai Tragedi Priok, rezim Suharto sepertinya menemukan momentum untuk kian bertindak represif terhadap dakwah Islam. Intel disebar ke berbagai masjid untuk memata-matai khotib.

Jika ceramah sang khotib dianggap sedikit keras maka langsung ditangkap dan dipenjara. Hal inilah yang menimpa salah satunya, Hasan Kiat, khotib dari Priok yang hanya karena ceramahnya tegas dalam akidah Islam ditangkap aparatnya Suharto. Dalam tahanan pada masa Suharto, penyiksaan sudah menjadi santapan keseharian. Ustadz Zubir dari Kalibaru disiksa terus hingga dia meninggal dunia.

Seorang tapol Islam bernama Robby giginya digerus pakai gagang pistol, nyaris rontok semua. Sedang Tasrif Tuasikal, terpidana kasus Priok, dadanya ditusuk bayonet. Alhamdulillah, dia kuat,” ujar Hasan Kiat kepada penulis pada tahun 1998.

Oleh aparatnya Suharto, walau tahu jika para tahanannya adalah orang-orang shalih, para ustadz, para aktivis masjid, dan sebagainya, namun untuk memberatkan mereka, aparat berusaha keras mengkaitkan mereka ini dengan PKI. Ini dinyatakan Hasan Kiat yang mengalami sendiri hal seperti itu.
Tragedi Aceh, Tanjung Priok, Lampung, hanyalah sebagian kecil kejahatan kemanusiaan yang dilakukan penguasa rezim Suharto terhadap umat Islam.
Belum lagi tragedi lainnya yang tidak kalah mengerikan seperti yang ditimpakan pada rakyat Timor-Timur, Papua, Kedungombo, dan sebagainya.
Seperti kata orang bijak, kehidupan ibarat roda yang berputar. Maka ada saat naik, ada pula saat turun. Demikian juga dengan kekuasaan Jenderal Suharto.
“Rezim yang lahir dari genangan darah jutaan rakyatnya ini dengan dukungan penuh dari blok imperialis dan kolonialis Barat, mengalami “masa keemasan” di akhir tahun 1960-an hingga semester kedua tahun 1990-an.”
Selama hampir sepertiga abad, Jenderal Suharto menjadi presiden dengan kekuasaan nyaris absolut bagaikan raja atau pun diktator. Siapa pun yang berani berseberangan keyakinan dan pandapat dengannya, walau ia bekas teman paling setia pun, pasti akan disingkirkan.


“Di masa awal kekuasaannya, rezim ini menggadaikan kekayaan alam bangsa yang sedemikian besar kepada jaringan korporasi Yahudi sekaligus merancang cetak biru perundang-undangan penanaman modal asing Indonesia di Swiss (1967).”
Langkah ini diikuti dengan “stabilisasi” perekonomian dan politik di dalam negeri, dengan campur tangan penuh kekuatan imperialis dan kolonialis dunia seperti Amerika Serikat dan Jepang.
Terhadap dakwah Islam, rezim Jenderal Suharto bersikap sangat keras. Walau di awal naiknya kekuasaan, umat Islam sempat digandeng dengan mesra, namun setelah berkuasa, umat Islam ditendang keluar dari pusat kekuasaan.
Dakwah Islam menjadi barang haram dan bahkan menjadi sasaran operasi intelijen di bawah komando Jenderal Ali Moertopo hingga Jenderal Leonardus Benny Moerdhani.
“Sepanjang tahun 1970-an, rezim Jenderal Suharto menikmati masa kejayaan dan kemakmuran dengan ‘Oil Booming’nya. Di sisi lain, korupsi, kolusi, dan nepotisme juga tumbuh dengan sangat subur.”
Cendana, nama jalan tempat tinggal Suharto di kawasan Menteng, Jakarta, menjadi pusat dari peredaran keuangan di negeri ini. Dan banyak orang yang haus kekuasaan dan juga kekayaan secara gerilya maupun terang-terangan, juga merapat ke Cendana.
Pada akhir tahun 1980-an dan awal 1990-an, seiring perubahan kepentingan politis Amerika Serikat, di mana era perang dingin sudah bisa dikatakan berakhir dengan tumbangnya Uni Soviet dan imperium komunis di Eropa Timur, maka berubah pula orientasi politis dari rezim Jenderal Suharto. Walau demikian “stabilitas politik dan ekonomi” serta “Pancasila” masih menjadi tuhan yang tidak boleh diganggu gugat.
Dakwah Islam yang sudah puluhan tahun ditindas dengan amat represif, perlahan-lahan simpulnya dikendurkan oleh Suharto. Banyak kalangan menyebut Suharto sudah bertobat dan akan khusnul khotimah.
Atribut-atribut keislaman seperti peci putih, sorban, dan jubah mulai dikenakan oleh Jenderal yang tangannya berlumuran darah jutaan rakyatnya ini. Jilbab secara perlahan juga mulai berkibaran di seantero negeri.
Tokoh-tokoh Islam dengan cepat dan sedikit gegabah, menyebut hal ini sebagai kebangkitan Islam di Indonesia, padahal baru sebatas kulit luarnya saja.
Membentuk Tradisi Korupsi, Kolusi dan Nepotisme

Sedangkan ‘tradisi’ KKN tetap dilestarikan bahkan sekarang sudah mengalami inovasi yang sangat luar biasa. Ke masjid sering, namun tetap saja gila memburu proyek-proyek yang sarat dengan mark-up anggaran dan sebagainya.

“Yoshihara Kunio, yang meneliti hubungan bisnis dan politik kekuasaan di Asia Tenggara, termasuk Indonesia, menerbitkan bukunya yang akhirnya dilarang beredar oleh Suharto. Buku tersebut berjudul “Kapitalisme Semu Asia Tenggara”. Untuk Indonesia, Kunio menyatakan jika pondasi perekonomian bangsa ini sebenarnya sangat rapuh karena dibangun berdasarkan praktik KKN semata.

Sedangkan para pengusaha kecil-menengah yang lokal, nyaris hidup sendiri tanpa adanya suatu proteksi atau pun perlindungan khusus dari pemerintah. Akibatnya, kian hari kian banyak perusahaan lokal yang dicaplok oleh korporasi asing.
Sebab itu, ketika tepat 100 tahun gerakan Zionisme Internasional merayakan kelahirannya, dan salah seorang pengusaha Yahudi dunia bernama George Soros memborong mata uang dollar AS dari pasar uang dunia, maka meletuslah krisis keuangan yang berawal dari Thailand dan terus merembet ke Indonesia.

Harga membubung tinggi dan banyak pengusaha hasil KKN ambruk. Jahatnya, para konglomerat kakap yang amat dekat dengan Cendana malah melarikan diri ke luar negeri dengan membawa uang rakyat Indonesia dengan nilai yang amat sangat banyak.
Uang hasil BLBI yang jumlahnya ratusan triliun rupiah dijarah dan tidak pernah dikembalikan hingga detik ini. Indonesia meluncur pasti menuju kebinasaan.
Juga emas batangan dan perhiasan yang jumlahnya berton-ton hasil sumbangan segenap rakyat Indonesia untuk bangkit dari krisis moneter 1998 juga tak berbekas sama sekali, kemana larinya semua emas sumbangan rakyat tersebut?
Empat Jenderal Kepercayaan Suharto
Selama kekuasaan diktator sekaligus rezim Suharto, ada beberapa Jenderal yang disebut-sebut setia kepadanya karena Soeharto menggunakan tentara untuk melanggengkan kekuasaannya. Ada empat jenderal andalan Soeharto dan mereka loyal serta mau melakukan apa saja demi menjaga kekuasaan Orde Baru.
Para jenderal ini memiliki kekuasaan yang nyaris tak terbatas. David Jenkins, wartawan Australia yang menulis buku “Suharto dan His Generals: Indonesia Military Politics 1975-1983”, menyebut empat jenderal ini sebagai para jenderal lingkaran dalam Soeharto.
Ciri-cirinya, dekat secara pribadi, bukan sebatas tugas. Memiliki peran di bidang intelijen, serta memiliki jabatan rangkap di bidang strategis. Saat itu yang melawan Soeharto langsung diberangus.
Empat jenderal ini pula yang ‘menghabisi’ lawan-lawan Orde Baru, seperti Jenderal Nasution, Letjen Ali Sadikin, Jenderal Hoegeng dan para penentang Soeharto lainnya. Keempat Jenderal terdekat Suharto tersebut adalah:
1. Jenderal Benny Murdani
Jenderal Benny Murdani menjabat Kepala Pusat Intelijen Strategis (Kapusintelstrat) sekaligus wakil kepala Bakin merangkap Asisten 1 Intelijen Hankam. Tiga jabatan strategis di dunia intelijen Indonesia.


Dengan kewenangan itu, Benny punya kuasa menggerakkan pasukan elite baret merah TNI AD yang kala itu bernama Kopasandha.
Sepak terjang Benny di antaranya memimpin operasi pembebasan sandera Woyla di Thailand serta membeli pesawat tempur A4 Skyhawk dari Israel.
Benny diangkat menjadi Panglima ABRI. Secara pribadi dia sangat dekat dengan Soeharto. Karirnya disebut-sebut berhenti saat dia meminta Soeharto untuk menegur anak-anaknya yang mulai kebablasan di bidang ekonomi. Soeharto marah dan mencopot jenderalnya yang setia ini.
2. Laksamana Sudomo
Sudomo mengenal Soeharto sejak lama. Mulai dari operasi Trikora, dimana Mayjen Soeharto menjabat Panglima Mandala. Ketika itu Soedomo memimpin seluruh kekuatan matra laut dalam komando Mandala. Selama operasi, otomatis Sudomo berada langsung di bawah Soeharto.


Setelah itu, hubungan keduanya makin erat. Sudomo bahkan sempat menempati posisi nomor satu di tubuh TNI AL tahun 1969-1973 sebagai kepala staf. Dia kemudian dipilih menjadi Wakil Panglima Panglima Kopkamtib mendampingi Soemitro. Kemudian menjadi Kopkamtib.
Sudomo pula yang ‘menghajar’ para Petisi 50 yang mengkritik Soeharto. Dia ikut mencekal Jenderal Hoegeng tampil di TV. Mungkin karena kesal dengan Sudomo ini, Hoegeng kemudian memberi nama orangutan miliknya dengan nama Pak Domo.
3. Letjen Ali Murtopo
Letjen Ali Murtopo menjabat wakil kepala Bakin. Dia sangat dekat dengan Soeharto, semenjak masih berada di Kodam Diponegoro Jawa Tengah. Ali Murtopo seorang ahli intelijen. Dia pernah memimpin tim untuk meredakan konflik Indonesia dan Malaysia pada era Dwikora. 

Lalu dia juga yang diduga membuat islamphobia di Indonesia. Ali Murtopo mengumpulkan sejumlah pejuang Negara Islam Indonesia (NII), kemudian melakukan radikalisasi. Kelompok ini pula yang kemudian melakukan sejumlah perampokan dan pembajakan, termasuk pembajakan pesawat Woyla. Banyak yang menuding pembajakan tersebut cuma rekayasa Intelijen. Ali Murtopo juga yang mendirikan Center for Strategic and International Studies (CSIS) yang menjadi dapur kebijakan pemerintahan Orde Baru.

4. Jenderal Yoga Sugama
Jenderal Yoga Sugama menjabat Kepala Badan Koordinasi Intelijen Negara (Bakin). Yoga dekat dengan Soeharto sejak Soeharto menjadi Panglima Kodam Diponegoro di Jawa Tengah. Saat Soeharto menjadi Pangkostrad, Yoga dan kawan kawannya ikut diajak ke Jakarta.
Hubungan Yoga dan Soeharto sangat dekat. Yoga dikenal sebagai orang yang menjauhi publistitas. Yoga Sugama juga pernah bertugas sebagai Duta Besar/Wakil Kepala Perwakilan Tetap RI di PBB, New York, Amerika Serikat (1971-1974).
Suharto Lengser Tahta Tahun 1998

Dari berbagai tekanan yang dilakukan mahasiswa, sejumlah pejabat, dan pastinya juga Washington, Presiden Suharto akhirnya lengser pada Mei 1998. Euphoria gerakan reformasi meledak. Habibie jadi presiden, diganti Abdurrahman Wahid, lalu Megawati, dan kemudian Susilo Bambang Yudhoyono.


“Gerakan reformasi sudah berusia puluhan tahun lebih, namun di lapangan, praktik-praktik peninggalan rezim Suharto, yaitu KKN ternyata bukan berkurang namun malah tambah marak dan inovatif dengan berbagai dalih dan hujjah.”
Malah sejumlah tokoh yang mengaku reformis, dari yang sekuler sampai yang katanya fundamentalis, kini nyata-nyata mendekati Cendana kembali yang memang masih memiliki kekayaan materil yang luar biasa.
“Mereka beramai-ramai mengangkat Suharto sebagai orang yang patut diteladani dan bahkan dikatakan sebagai Guru Bangsa. Panglima besar KKN malah dijadikan Guru Bangsa. Ini merupakan sesuatu yang “amat hebat dan sungguh fantastis”.
Hal ini membuktikan kepada kita semua, betapa gerakan reformasi tenyata telah gagal total. Para Suhartois masih kuat bercokol di negeri ini. Hari-hari menjelang Pemilu 2009 lalu kita bisa melihat dengan mudah siapa saja orang-orang Indonesia, baik itu yang sekular maupun yang mengklaim sebagai reformis, yang sesungguhnya Suhartois. Mereka membuka topengnya lewat iklan, lewat manuver politik, dan sebagainya.

Koruptor satupun tak ada yang ditangkap, masuk bui tanpa adanya pengadilan bahkan salah pun tidak, penyiksaan dan pembunuhan terus berlangsung, secara total jutaan rakyat tewas. Tidak adanya keadilan adalah suatu yang NYATA. Namun kecanggihan merubah pola pikir atau cuci otak di zaman Suharto ini memang INTI dari semua managemen yang telah dilakukannya.
Saat itu, memang Indonesia jadi memiliki suatu faham pemerintahan yang “aneh”. Disatu sisi Indonesia berhalauan demokrasi dan berteman dengan kapitalis barat yang mengeruk kekayaan alam Indonesia dengan leluasa asalkan si pengeruk mau memberi “upeti” kepada penguasa.
Namun disisi lainnya, faham yang digunakan mirip sekali dengan sosialis dalam hal hak dan informasi kepada rakyat, mirip Korea Utara yang rakyatnya hingga detik disaat anda membaca artikel ini, mereka masih tetap tak tahu informasi apa-apa, iya, tak tahu dunia luar. Mirip era Suharto.

Kita lihat saja nanti, sebuah inkubator dan contoh kecil yaitu Korea Utara yang rakyatnya masih tetap merasa senang dan nyaman oleh rezim penguasa, hingga suatu saat rezim tersebut tergantikan dengan pemimpin yang demokratis, maka akan rusak mentalnya dan akan menganggap masa seperti disaat ini adalah saat yang paing enak, buta informasi. Maka disaat inilah rakyat Korea Utara sedang dicuci otaknya (brainwashed) selama puluhan tahun! sekali lagi, paling tidak 50% mirip era Orde Baru rezim Suharto pada masa lalu, buta informasi dunia!

Namun para Suhartois menganggap zaman Suharto adalah zaman “enak”. Mengapa? Karena kebodohan, karena ketidak-mengertian, pada masa itu para koruptor sedang diatas angin untuk mengeruk dan menumpuk kekayaan dan rakyat pun dibuatnya terlena nyaman dan tak tahu bagaimana sebenarnya perkembangan dunia secara global diluar sana. Karena semua media disaring, semua berita disaring, bahkan hanya ada satu televisi hingga tahun 90-an dan itupun milik pemerintah.

Begitu pula berita melalui radio pun disaring dan setelah semua berita tersaring, maka WAJIB di “relay” ke semua stasiun radio seantero Indonesia. Terpusat, tersentral dari Jakarta. Lagi pula, semua berita selalu, selalu dan selalu baik. Tanpa cacat pemerintahan, sempurna. Rakyat pun hidup terlena.
Bagaimana dengan koran dan majalah serta media informasi lainnya? Jawabannya hanya satu: bernasib sama. Tiada yang berani mengeritik pemerintah walau seujung jari, apalagi untuk mengungkapkan suatu protes atau ketidak-sukaan. Bagaimana dengan hak untuk berdemonstrasi dan mengungkapkan pendapat? Tak perlu dijawab!
Satu-satunya TV lainnya, selain TVRI adalah TVRI Programa-2, sama juga milik TVRI, tapi Pro-2 menyiarkan berita kota secara lokal dan kadang disisipi dengan penyiar dengan bahasa Inggris.

Memulai Keterbukaan Informasi Media Tentang Dunia, Adalah Awal Berakhirnya Rezim Orde Baru

Akhirnya pada masa tahun 90-an informasi mulai terbuka dengan diawali anak-anaknya mulai melirik bisnis TV swasta. Setelah salah satu anaknya ingin membuat TV swasta karena dianggap sangat menguntungkan dan sangat menggiurkan serta menjanjikan secara ekonomis, namun Suharto tetap melarangnya karena takut rakyatnya tahu dunia luar dan akan membandingkannya dengan keadaan Indonesia.
Maka untuk menghindari hal itu, dibuatlah TV yang berawal untuk dunia pendidikan saja yaitu Televisi Pendidikan Indonesia (TPI). Stasiun ini sama dengan TVRI, dari perangkatnya, alat siarnya, studionya, menaranya, hampir semuanya, tapi programnya berbeda karena untuk pendidikan anak-anak dan kaum muda.
TPI pertama kali mengudara pada 1 Januari 1991 selama 2 jam dari jam 19.00-21.00 WIB. TPI diresmikan Presiden Soeharto pada 23 Januari 1991 di Studio 12 TVRI Senayan, Jakarta Pusat.
Pada awal pendiriannya tahun 1991 TPI hanya ingin menyiarkan siaran edukatif saja. Saat itu TPI hanya mengudara 4 jam. Salah satunya dengan bekerjasama dengan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan menyiarkan materi pelajaran pendidikan menengah.
Sejak itu TPI mengudara 4 jam, lalu sejak 1 Juni 1991 menjadi 6,5 jam. Lalu menjelang akhir 1991 sudah 8 jam.
Pada tahap awal pendiriannya, TPI berbagi saluran dengan televisi milik pemerintah, TVRI. Perlahan-lahan mereka mengurangi misi edukatif, dengan juga menyiarkan acara-acara lain, termasuk kuis-kuis dan sinetron sebagai selingan.
Walau isi awalnya hanya untuk kaum pelajar dan mahasiswa, namun iklan terus mengalir karena masyarakat mulai membandingkan, jenuh dan bosan mulai mewarnai stasiun TVRI, yang beritanya itu-itu saja.
TPI berpisah saluran dengan TVRI di pertengahan 90-an. Kini, program edukasi tersebut sudah tergusur, dan TPI fokus di program acara musik dangdut, seolah acara lain yang disebut ‘makin Indonesia’ dalam motto barunya seakan tenggelam oleh hingar bingar acara dangdut di TPI. Bahkan TPI sebagai kependekan dari Televisi Pendidikan Indonesia sudah tidak berlaku lagi.

Dalam website resmi TPI, disebutkan TPI adalah Televisi Paling Indonesia, sesuai dengan misi barunya, yakni menyiarkan acara-acara khas Indonesia seperti tayangan sinetron lokal dan musik dangdut.
Sejak 20 Oktober 2010, TPI resmi berganti nama menjadi MNCTV. Perubahan ini terjadi dikarenakan TPI tidak sesuai dengan konteks tertulis pada televisi tersebut yaitu menjadi salah satu televisi yang berbau pendidikan di Indonesia, dan oleh karena itu nama TPI berubah menjadi MNCTV untuk mengubah citra TPI di mata masyarakat.
Lalu televisi swasta kedua pun muncul setelah TPI, yaitu Rajawali Citra Televisi Indonesia (RCTI) kemudian diikuti dengan beberapa stasiun televisi lainnya seperti SCTV. Maka, informasipun mengalir dengan derasnya dan rakyat pun mulai membandingkan.
Dulu di era Orde Baru, berita lokal melalui TV dan radio selalu dimatikan oleh pemirsa dan pendengarnya, satu yang disukai hanyalah Dunia Dalam Berita dan itupun juga tak luput dari penyaringan berita. Berbeda dengan sekarang yang beritanya jauh lebih realistis dan updated bahkan membuat pemirsanya “kecanduan”.
Artinya, suatu saat kedepannya nanti setelah Suharto dilengserkan dengan cara apapun, dikala Indonesia hancur lebur dan luluh lantak dalam krisis keuangan, krisis mental, dan krisis keamanan serta krisis keadilan, maka Suharto akan tetap disanjung. Inilah inti dari semuanya. Intinya. Inti. Dan nyatanya memang banyak warga Indonesia yang terbukti telah berubah pola pikirnya. 
Ketika Indonesia mulai menjadi Kapitalis sejak Zaman Orde Baru (New Order) di era Suharto yang sudah “menjual” aset kekayan alam Indonesia kepada pihak asing, maka siapapun Presiden Indonesia kedepannya,  takkan bisa berkutik lagi terhadap Dunia Barat hingga ke depannya, entah sampai kapan dan dengan batas waktu yang Tak Bisa Ditentukan.