Peristiwa tragedi kemanusiaan
di Tanjung Priok pada pertengahan tahun 1984, merupakan salah
satu dari sekian banyak rentetan jejak dan fakta kelamnya masa pemerintahan Suharto.
Satu masa rezim militer yang berlumuran
darah dari awal masa
kekuasaannya sampai akhir masa
kediktatorannya.
Pada artikel kali ini, kami akan mencoba
menguak sedikit dari banyaknya tandatanya-tandatanya besar yang masih tersimpan
di saku tiap rakyat Indonesia yang tercinta ini dan belum terjawab, bahkan tak
akan pernah terjawab.
Hal itu dilakukan karena pada masa rezim New Order atau Orde Baru itu, banyak sekali sejarah-sejarah
yang tak boleh dipublikasikan, ditulis ulang, dibengkokkan, lalu di
propagandakan melalui media-media zombie yang pada masa lalu, bagai ‘media
peliharaan’.
Suharto, presiden diktator era Orde Baru (New Order) yang
berkuasa selama 32 tahun yang selalu menang pemilu 6 kali berturut-turut
alias hat trick dua
kali oleh pemilihan presiden secara tak langsung (dipilih oleh DPR/MPR).
Kemiliteran dibentuk untuk menopang kekuasannya
dan selalu siap menjalankan perannya sebagai kekuatan negara untuk menghadapi
rongrongan ideologi apapun, termasuk ideologi agama yang diakui di Indonesia.
Kekuasaan penuh yang dimiliki militer saat itu
meluas mencakup penghancuran setiap bentuk gerakan oposisi politik apapun.
Fungsi kekuasaan militer untuk melakukan tindakan pemeliharaan keamanan dan
kestabilan negara dianggap sebagai suatu bentuk legitimasi untuk dapat
melakukan berbagai macam bentuk tindakan provokatif tersistematif dan represif.
Mereka menggunakan dalih pembenaran sepihak
yaitu sebagai tindakan pengamanan terhadap kekuasaan, meskipun dengan melakukan pelanggaran-pelanggaran HAM
paling berat sekalipun.
Peristiwa berdarah Tanjung Priok 1984, adalah
satu peristiwa yang sudah disiapkan sebelumnya dengan matang oleh intel-intel
militer. Militerlah yang menskenario dan merekayasa kasus pembataian Tanjung
Priok.
Ini adalah bagian dari operasi militer yang
bertujuan untuk mengkatagorikan kegiatan-kegiatan keislaman sebagai suatu
tindak kejahatan, dan para pelaku dijadikan sasaran korban.
Terpilihnya Tanjung sebagai tempat sebagai “The Killing Feld” juga bukan
tanpa survey dan analisa yang matang dari intelejen. Kondisi sosial ekonomi
Tanjung Priok yang menjadi dasar pertimbangan. Tanjung Priok adalah salah satu
wilayah basis Islam yang kuat, denga kondisi pemukiman yang padat.
Mayoritas penduduknya tinggal dirumah-rumah
sederhana yang terbuat dari barang bekas pakai dan kebanyakan penduduknya
bekerja sebagai buruh galangan kapal, dan buruh serabutan.
Dengan kondisi sosial ekonomi yang rendah
ditambah dengan pendidikan yang minim seperti itu, menjadikan Tanjung Priok
sebagai wilayah yang mudah sekali terpengaruh dengan gejolak dari luar, sehingga
mudah sekali tersulut berbagai isu.
Suasana panas di Tanjung Priok sudah dirasakan
sebulan sebelum peristiwa itu terjadi. Upaya -upaya provokatif memancing
massa telah banyak dilakukan. Diantaranya, pembangunan gedung Bioskup Tugu yang
sering memutar film maksiat yang berdiri persis berseberangan degan masjid
Al-Hidayah.
Tokoh-tokoh Islam menduga
keras bahwa suasana panas itu memang sengaja direkayasa oleh orang-orang
tertentu di pemerintahan yang memusuhi Islam. Suasana rekayasa ini terutama
sekali dirasakan oleh ulama-ulama di luar Tanjung Priok.
Sebab, di kawasan lain kota di Jakarta terjadi
sensor yang ketat terhadap para mubaligh, kenapa
di Tanjung Priok sebagai basis Islam para mubalighnya bebas sekali untuk
berbicara, bahkan
mengkritik pemerintah dan menentang azas tunggal Pancasila. Tokoh
senior seperti M Natsir dan Syarifudin
Prawiranegara sebenarnya
telah melarang ulama untuk datang ke Tanjung Priok agar tidak masuk perangkap,
namun seruan itu rupanya tidak terdengar oleh ulama-ulama Tanjung Priok.
Awal Mula Peristiwa, kejadian berdarah Tanjung
Priok dipicu oleh tindakan provokatif tentara
Pada pertengahan tahun 1984,
beredar isu tentang RUU organisasi sosial yang mengharuskan penerimaan azas
tunggal. Hal ini menimbulkan implikasi yang luas. Diantara pengunjung masjid di
daerah ini, terdapat seorang mubaligh yang terkenal, menyampaikan ceramah pada
jama’ahnya dengan menjadikan isu ini sebagi topik pembicarannya, sebab
Rancangan Undang-Undang tsb sudah lama menjadi masalah yang kontroversial.
Pada tanggal 7 September 1984,
seorang Babinsa beragama Katholik sersan satu Harmanu datang ke musholla kecil
yang bernama “Musholla As-sa’adah” dan memerintahkan untuk mencabut
pamflet yang berisi tulisan problema yang dihadapi kaum muslimin pada masa itu,
dan disertai pengumuman tentang kegiatan pengajian yang akan datang.
Tak heran jika kemudian orang-orang
yang disitu marah melihat tingkah laku Babinsa itu. pada hari berikutnya
Babinsa itu datang lagi beserta rekannya, untuk mengecek apakah perintahnya
sudah dijalankan apa belum. Setelah kedatangan kedua itulah muncul isu yang
menyatakan, kalau militer telah menghina kehormatan tempat suci karena masuk
mushola tanpa menyopot sepatu, dan menyirami pamflet-pamflet di musholla dengan
air comberan.
Kronologi Pembantaian
Kronologi Pembantaian Kaum Muslimin Oleh Bala Tentara pada
Tragedi Tanjung Priok Berdarah 1984 oleh Saksi Mata Ust. Abdul Qadir Djaelani,
salah seorang ulama yang dituduh oleh aparat keamanan sebagai salah seorang
dalang peristiwa Tanjung Priok.
Karenanya, ia ditangkap dan dimasukkan ke dalam penjara. Sebagai
seorang ulama dan tokoh masyarakat Tanjung Priok, sedikit banyak ia mengetahui
kronologi peristiwa Tanjung Priok.
Berikut adalah petikan kesaksian Abdul Qadir Djaelani terhadap
peristiwa Tanjung Priok 12 September 1984, yang tertulis dalam eksepsi
pembelaannya berjudul “Musuh-musuh
Islam Melakukan Ofensif terhadap Umat Islam Indonesia”.
✪
Sabtu, 8 September 1984
Dua orang petugas Koramil (Babinsa) tanpa membuka sepatu,
memasuki Mushala as-Sa’adah di gang IV Koja, Tanjung Priok, Jakarta Utara.
Mereka menyiram pengumuman yang tertempel di tembok mushala dengan air got
(comberan). Pengumuman tadi hanya berupa undangan pengajian remaja Islam
(masjid) di Jalan Sindang.
✪ Ahad,
9 September 1984
Peristiwa hari Sabtu (8 September 1984) di Mushala
as-Sa’adah menjadi pembicaran masyarakat tanpa ada usaha dari pihak yang
berwajib untuk menawarkan penyelesaan kepada jamaah kaum muslimin.
✪ Senin,
10 September 1984
Beberapa anggota jamaah Mushala as-Sa’adah berpapasan dengan
salah seorang petugas Koramil yang mengotori mushala mereka. Terjadilah
pertengkaran mulut yang akhirnya dilerai oleh dua orang dari jamaah Masjid
Baitul Makmur yang kebetulan lewat yaitu Syarifuddin Rmbe dan
Sofyan Sulaiman dua orang takmir masjid “Baitul Makmur” yang berdekatan dengan
Musholla As-sa’adah, berusaha menenangkan suasana dengan mengajak ke dua
tentara itu masuk ke dalam sekretarit takmir mesjid untuk membicarakan masalah
yang sedang hangat.
Ketika mereka sedang berbicara di depan kantor, massa diluar
sudah terkumpul. Kedua pengurus takmir masjid itu menyarankan kepada kedua
tentara tadi supaya persoalaan disudahi dan dianggap selesai saja. Tapi mereka
menolak saran tersebut. Massa diluar sudah mulai kehilangan kesabarannya.
Sementara usaha penegahan sedang berlangsung, orang-orang yang
tidak bertanggung jawab dan tidak ada urusannya dengan permasalahan itu
tiba-tiba saja menarik salah satu sepeda motor milik prajurit yang ternyata
seorang marinir dan membakarnya. Saat itu juga Syarifuddin Rambe dan Sofyan
Sulaiman beserta dua orang lainnya ditangkap aparat keamanan.
Turut ditangkap juga Ahmad Sahi, Pengurus Musholla As-sa’adah
dan satu orang lagi yang saat itu berada di tempat kejadian, selanjutnya
Mohammad Nur yang membakar motor ditangkap juga. Akibat penahanan empat orang
tadi kemarahan massa menjadi tak terbendung lagi, yang kemudian memunculkan
tuntutan pembebasan ke empat orang yang ditangkap tadi.
Kodim, yang diminta bantuan oleh Koramil, mengirim sejumlah
tentara dan segera melakukan penangkapan. Ikut tertangkap 4 orang jamaah, di
antaranya termasuk Ketua Mushala as-Sa’adah tersebut.
✪ Selasa,
11 September 1984
Pada tanggal 11 September 1984, Massa yang masih memendam
kemarahannya itu datang ke salah satu tokoh didaerah itu yang bernama Amir
Biki, karena tokoh ini dikenal dekat dengan para perwira di Jakarta. Maksudnya
agar ia mau turun tangan membantu membebaskan para tahanan. Sudah sering kali
Amir Biki menyelesaikan persoalan yang timbul dengan pihak militer.
Amir Biki menghubungi pihak-pihak yang berwajib untuk meminta
pembebasan empat orang jamaah yang ditahan oleh Kodim, yang diyakininya tidak
bersalah. Peran Amir Biki ini tidak perlu mengherankan, karena sebagai salah
seorang pimpinan Posko 66, dialah orang yang dipercaya semua pihak yang
bersangkutan untuk menjadi penengah jika ada masalah antara penguasa (militer)
dan masyarakat. Usaha Amir Biki untuk meminta keadilan ternyata tidak berhasil
dan sia-sia.
✪ Rabu,
12 September 1984
Dalam suasana tantangan yang demikian, acara pengajian remaja
Islam di Jalan Sindang Raya, yang sudah direncanakan jauh sebelum ada peristiwa
Mushala as-Sa’adah, terus berlangsung juga. Penceramahnya tidak termasuk Amir
Biki, yang memang bukan mubalig dan memang tidak pernah mau naik mimbar.
Akan tetapi, dengan latar belakang rangkaian kejadian di
hari-hari sebelumnya, jemaah pengajian mendesaknya untuk naik mimbar dan
memberi petunjuk. Pada kesempatan pidato itu, Amir Biki berkata antara lain,
“Mari kita buktikan solidaritas islamiyah. Kita meminta teman
kita yang ditahan di Kodim. Mereka tidak bersalah. Kita protes pekerjaan oknum-oknum
ABRI yang tidak bertanggung jawab itu. Kita berhak membela kebenaran meskipun
kita menanggung risiko. Kalau mereka tidak dibebaskan maka kita harus
memprotesnya.”
Dihadapan massa, Amir biki berbicara dengan keras, yang isinya
mengultimatum agar membebaskan para tahanan paling lambat pukul 23.00 Wib malam
itu juga. Bila tidak, mereka akan mengerahkan massa untuk melakukan
demonstrasi.
Selanjutnya, Amir Biki berkata, “Kita tidak boleh merusak apa
pun! Kalau ada yang merusak di tengah-tengah perjalanan, berarti itu bukan
golongan kita (yang dimaksud bukan dari jamaah kita).”
Saat ceramah usai, berkumpulah sekitar 1500 orang demonstran
yang bergerak menuju kantor Polsek dan Kormil setempat. Pada waktu berangkat
jamaah pengajian dibagi dua: sebagian menuju Polres dan sebagian menuju Kodim.
Kelompok
Yang Menuju Polres
Setelah sampai di depan Polres, kira-kira 200 meter jaraknya, di
situ sudah dihadang oleh pasukan ABRI berpakaian perang dalam posisi pagar
betis dengan senjata otomatis di tangan. Massa demonstran berhadapan langsung
dengan pasukan tentara yang siap tempur.
Pada saat pasukan mulai memblokir jalan protokol, mendadak para
demonstran sudah dikepung dari segala penjuru. Saat itu massa tidaklah
beringas, sebagian besar mereka hanya duduk-duduk sambil mengumandankan takbir.
Sesampainya jamaah pengajian ke tempat itu, terdengar militer
itu berteriak, “Mundur-mundur!” Teriakan “mundur-mundur” itu disambut oleh
jamaah dengan pekik, “Allahu Akbar! Allahu Akbar!”
Saat itu militer mundur dua langkah, tanpa peringatan lebih
dahulu terdengarlah suara tembakan, lalu diikuti oleh pasukan yang langsung
mengarahkan moncong senjatanya ke arah demonstran, lalu memuntahkan
senjata-senjata otomatis dengan sasaran para jamaah pengajian yang berada di
hadapan mereka, selama kurang lebih tiga puluh menit!
Jamaah pengajian lalu bergelimpangan sambil menjerit histeris,
tersungkur berlumuran darah. Beratus-ratus umat Islam jatuh menjadi syuhada!
Disaat para demonstran yang terluka berusaha bangkit untuk menyelamatkan diri,
pada saat yang sama juga mereka diberondong senjata lagi.
Malahan ada anggota militer yang berteriak, “Bangsat! Pelurunya
habis. Anjing-anjing ini masih banyak!” Lebih sadis lagi, mereka yang belum
mati ditendang-tendang dan kalau masih bergerak maka ditembak lagi sampai mati.
Tak lama berselang datang konvoi truk militer dari arah
pelabuhan menerjang dan menelindas demostran yang sedang bertiarap di jalan.
Dia buah mobil truk besar beroda sepuluh buah dalam kecepatan tinggi yang penuh
dengan pasukan. Dari atas mobil truk besar itu dimuntahkan peluru-peluru dan
senjata-senjata otomatis ke sasaran para jamaah yang sedang bertiarap dan
bersembunyi di pinggir-pinggir jalan.
Lebih mengerikan lagi, truk besar tadi berjalan di atas jamaah
pengajian yang sedang tiarap di jalan raya, melindas mereka yang sudah
tertembak atau yang belum tertembak, tetapi belum sempat menyingkir dari jalan
raya yang dilalui oleh mobil truk tersebut.
Jeritan dan bunyi tulang yang patah dan remuk digilas mobil truk
besar terdengar jelas oleh para jamaah umat Islam yang tiarap di
got-got/selokan-selokan di sisi jalan.
Dari atas truk tentara dengan membabi buta masih menembaki para
demonstran. Dalam sekejap jalanan dipenuhi oleh jasad-jasad manusia yang telah
mati bersimbah darah. Sedang beberapa korban yang terluka tidak begitu parah
berusaha lari menyelamatkan diri berlindung ke tempat-tempat disekitar
kejadian.
Setelah
itu, truk-truk besar itu berhenti dan turunlah militer-militer itu untuk
mengambil mayat-mayat yang bergelimpangan dan melemparkannya ke dalam truk
bagaikan melempar karung goni.
Dua buah mobil truk besar itu penuh oleh mayat-mayat atau
orang-orang yang terkena tembakan yang tersusun bagaikan karung goni. Sembari
para tentara mengusung korban-korban yang mati dan terluka ke dalam truk
militer, masih saja terdengar suara tembakan tanpa henti.
Semua korban dibawa ke rumah sakit tentara di Jakarta, sementara
rumah sakit-rumah sakit yang lain dilarang keras menerima korban penembakan
Tanjung Priok.
Sesudah mobil truk besar yang penuh dengan mayat jamaah
pengajian itu pergi, tidak lama kemudian datanglah mobil-mobil ambulans dan
mobil pemadam kebakaran yang bertugas menyiram dan membersihkan darah-darah di
jalan raya dan di sisinya, sampai bersih.
Kelompok
Yang Menuju Kodim
Sementara itu, rombongan jamaah pengajian yang menuju Kodim
dipimpin langsung oleh Amir Biki. Kira-kira jarak 15 meter dari kantor Kodim,
jamaah pengajian dihadang oleh militer untuk tidak meneruskan perjalanan, dan
yang boleh meneruskan perjalanan hanya 3 orang pimpinan jamaah pengajian itu,
di antaranya Amir Biki.
Begitu jaraknya kira-kira 7 meter dari kantor Kodim, 3 orang
pimpinan jamaah pengajian itu diberondong dengan peluru yang keluar dari
senjata otomatis militer yang menghadangnya. Ketiga orang pimpinan jamaah itu
jatuh tersungkur menggelepar-gelepar.
Melihat kejadian itu, jamaah pengajian yang menunggu di belakang
sambil duduk, menjadi panik dan mereka berdiri mau melarikan diri, tetapi
disambut oleh tembakan peluru otomatis. Puluhan orang jamaah pengajian jatuh
tersungkur menjadi syahid.
Saksimata
Menurut ingatan salahsatu saksi yang belum tewas bernama Yusron,
di saat ia dan mayat-mayat itu dilemparkan ke dalam truk militer yang beroda 10
itu, kira-kira 30-40 mayat berada di dalamnya, yang lalu dibawa menuju Rumah
Sakit Gatot Subroto (dahulu RSPAD).
Sesampainya di rumah sakit, mayat-mayat itu langsung dibawa ke
kamar mayat, termasuk di dalamnya saudara Yusron. Dalam keadaan
bertumpuk-tumpuk dengan mayat-mayat itu di kamar mayat, saudara Yusron
berteriak-teriak minta tolong. Petugas rumah sakit datang dan mengangkat
saudara Yusron untuk dipindahkan ke tempat lain.
Sebenarnya peristiwa pembantaian jamaah pengajian di Tanjung
Priok tidak terjadi apabila PanglimaABRI/Panglima Kopkamtib Jenderal LB
Moerdani benar-benar mau berusaha untuk mencegahnya, apalagi pihak Kopkamtib
yang selama ini sering sesumbar kepada media massa bahwa pihaknya mampu
mendeteksi suatu kejadian sedini dan seawal mungkin.
Hal ini terjadi karena pada tanggal 11 September 1984, sewaktu
saya diperiksa oleh Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya, saya sempat
berbincang-bincang dengan Kolonel Polisi Ritonga, Kepala Intel Kepolisian
tersebut di mana ia menyatakan bahwa jamaah pengajian di Tanjung Priok menuntut
pembebasan 4 orang rekannya yang ditahan, disebabkan membakar motor petugas.
Bahkan, menurut petugas-petugas satgas Intel Jaya, di saat saya
ditangkap tanggal 13 September 1984, menyatakan bahwa pada tanggal 12 September
1984, kira-kira pukul 10.00 pagi. Amir Biki sempat datang ke kantor Satgas
Intel Jaya.
Pemerintah
menyembunyikan fakta jumlah korban dalam tragedi berdarah itu. Lewat panglima
ABRI saat itu LB. Murdhani menyatakan bahwa jumlah yang tewas sebanyak 18 orang
dan yang luka-luka 53 orang. Tapi data dari Sontak (SOlidaritas Untuk peristiwa
Tanjung Priok) jumlah korban yang tewas mencapai 400 orang. Belum lagi
penderitaan korban yang ditangkap militer mengalami berbagai macam penyiksaan.
Dan Amir Biki sendiri adalah salah satu korban yang tewas diberondong peluru
tentara. (Abdul Qadir Djaelani).
Tragedi
Tanjung Priok 1984 Versi Pemerintah
Pemerintahan Soeharto banyak diwarnai peristiwa-peristiwa yang
memakan korban jiwa, terutama mengarah terhadap umat Islam. Ini tentu tidak
lepas dari “pesan” dan intervensi asing tentang apa yang disebut “politik
menekan Islam”.
Kasus Tanjung Priok ini menjadi hal yang menarik. Karena tidak ada
pernyataan tentang cita-cita Negara Islam yang disampaikan dalam
ceramah-ceramah di Tanjung Priok. Yang disampaikan oleh para mubaligh di sana
hanyalah ceramah-ceramah tajam dengan satu dua kata menyentil kebijakan
penguasa.
Mereka mengecam kebijakan pemerintah yang dirasa menyudutkan umat
Islam. Diantaranya adalah larangan memakai jilbab dan penerapan asas tunggal Pancasila,
serta masalah kesenjangan sosial antara pribumi dengan non-pribumi.
Dalam bukunya Tanjung
Priok Berdarah: Tanggung
Jawab Siapa? Kumpulan Data dan Fakta (PSPI, 1998 : 26) dijelaskan bahwa proses
terjadinya tragedi Priok pada hari Senin, 10 September 1984 ketika seorang
petugas yang sedang menjalankan tugasnya di daerah Koja, dihadang dan kemudian
dikeroyok oleh sekelompok orang.
Petugas keamanan berhasil menyelamatkan diri, tetapi sepeda
motornya dibakar oleh para penghadang. Aparat keamanan pun menangkap empat
orang pelakunya untuk keperluan pengusutan dan penuntutan sesuai ketentuan
hukum yang berlaku. Untuk mengetahui nasib keempat orang yang ditahan,
masyarakat sepakat bergerak ke kantor Kodim. Tetapi permintaan mereka ditolak.
Peristiwa ini terjadi pada hari Rabu, 12 September 1984. Pada
saat itu, di Masjid Rawabadak berlangsung ceramah agama tanpa izin dan bersifat menghasut. Penceramahnya
antara lain Amir Biki, Syarifin Maloko, M. Nasir, tidak pernah diketahui
keberadaannya setelah peristiwa malam itu. Kemudian, aparat keamanan menerima
telepon dari Amir Biki yang berisi ancaman pembunuhan dan perusakan apabila keempat tahanan
tidak dibebaskan.
Setelah itu, sekitar 1500 orang menuju Polres dan Kodim. Hal ini
senada dengan apa yang dijelaskan dalam buku Perjalanan
Sang Jenderal Besar Soeharto 1921-2008 (Santosa, 2008:170) yang menjelaskan bahwa
Amir Biki yang memimpin massa menuju Kodim untuk menuntut pembebasan mereka
yang ditahan.
Ia juga berpesan agar selama perjalanan, massa jangan membuat
anarkis. Tapi kegiatan ini tidak diikuti oleh para mubaligh karena mereka sudah
diingatkan agar tidak keluar dari pusat pengajian.
Sampai
di depan Polres Jakarta Utara massa dihadang aparat bersenjata. Jarak antara
massa dengan aparat sangat dekat, kira-kira lima meter. Tidak ada dialog antara
Amir Biki dengan aparat. Lima belas orang petugas keamanan menghambat kerumunan
atau gerakan massa tersebut.
Regu keamanan berusaha membubarkan massa dengan secara persuasif,
namun dijawab dengan teriakan-teriakan yang membangkitkan emosi dan
keberingasan massa. Massa terus maju mendesak satuan keamanan sambil
mengayun-ayunkan dan mengacung-acungkan golok dan senjata tajam.
Tak berapa lama ada komando untuk mundur. Pasukan terlihat mundur
kira-kira 10 meter. Lalu ada komando “tembak”. Dalam jarak yang sudah
membahayakan, regu keamanan mulai memberikan tembakan peringatan dan tidak dihiraukan. Tembakan
diarahkan ke tanah dan kaki penyerang, korban pun tidak dapat dihindari.
Setelah datang pasukan keamanan lainnya, barulah massa mundur,
tetapi mereka membakar mobil, merusak beberapa rumah, dan apotek.
Sekitar
tiga puluh menit kemudian gerombolan menyerang kembali petugas keamanan,
sehingga petugas keamanan dalam kondisi kritis dan terpaksa melakukan
penembakan-penembakan untuk mencegah usaha perusuh merebut senjata dan
serangan-serangan dengan celurit dan senjata tajam lainnya. Terjadilah tragedi
pembantaian itu.
Aparat yang bersenjata itu menghujani tembakan terhadap ribuan massa
dengan leluasa. Teriakan minta tolong tidak dihiraukan. Mereka yang berada di
barisan depan bertumbangan bersimbah darah. Yang masih selamat melarikan diri.
Ada juga yang tiarap, menghindari sasaran-sasaran peluru. Beberapa truk datang
untuk mengangkut tubuh-tubuh korban dan menguburkannya di suatu tempat.
Proses
Hukum
Hingga
hari ini tak ada keadilan yang diberikan bagi korban yang dulunya ditembaki,
ditangkap semena-mena, ditahan secara sewenang-wenang, disiksa, dihilangkan,
distigma dan harta bendanya dirampas serta hak atas pekerjaan dan pendidikannya
dirampas.
Masih
terang diingatan korban, bagaimana pada tahun 2006 Mahkamah Agung memperagakan
parade pembebasan hukum (Impunitas
secara De Jure) terhadap sejumlah nama yang seharusnya bertanggung
jawab; Sriyanto, Pranowo, Sutrisno Mascung dan RA. Butar-Butar.
Kegagalan
Peradilan HAM untuk menghukum sesungguhnya telah tergambar dari buruknya
kinerja Penuntut Umum.
Selain
menghapus nama (Alm.) LB Moerdani dan Try Sutrisno dalam proses penyidikan,
Kejaksaan Agung justru membuktikan kejahatan luar biasa (Extra Ordinary Crime) pada kasus Tanjung Priok dengan sistem
pidana umum (Ordinary Crime)
yang berbasis pada KUHAP.
Kegagalan lain diakibatkan oleh persoalan politik bahwa tidak
adanya jaminan dari otoritas negara dalam mendukung administratif atas kerja
Pengadilan HAM atas kasus Tanjung Priok. Selain itu Pemerintah tidak menyiapkan
sistem perlindungan saksi yang memadai. Sementara, di pengadilan, Hakim
membiarkan upaya sogok-menyogok terjadi antara pelaku dengan sejumlah saksi
untuk mencabut kesaksian.
Pengadilan
HAM bukan hanya gagal memberikan kepastian hukum berupa penghukuman terhadap
para pelaku dalam kasus Tanjung Priok, Pengadilan Juga gagal memberikan
kebenaran yang sejati atas kasus Tanjung Priok serta gagal menjamin kepastian
reparasi (Perbaikan) atas penderitaan dan kerugian para korban Kasus Tanjung
Priok 1984.
Banyak diantara para korban yang masih mempertanyakan keberadaan
keluarganya yang masih hilang. Banyak diantara para korban yang sampai hari ini
harus menanggung biaya pengobatan akibat atau efek dari kekerasan yang dialami
pada 12 September 1984 atau kekerasan-kekerasan berikutnya.
Banyak
diantara para korban yang harus kehilangan tempat usaha atau pekerjaannya
akibat dirampas atau distigmatisasi sehingga tidak bisa mendapatkan pekerjaan.
Demikian pula para korban yang masih anak-anak, tidak bisa
melanjutkan sekolahnya. Atau anak-anak korban yang kehilangan ayah atau
kakaknya yang diharapkan menjadi penopang ekonomi.
Usaha
pun tetap dilakukan oleh para korban lewat Pengadilan Negeri pada 28 Februari
2007 menuntut Pemerintah mengeluarkan dana kompensasi bagi korban. Namun,
lagi-lagi, Hakim tunggal Martini Marjan menolak mentah-mentah permohonan
Penetapan Kompensasi para korban dengan alasan tidak ada pelanggaran berat HAM
dalam kasus Tanjung Priok 1984.
Jelas bahwa Hakim tunggal Martini Marjan Menegasikan fakta,
penderitaan dan kerugian yang telah dihadirkan dalam persidangan Penetapan di
PN Jakarta Pusat.
Sampai saat ini Mahkamah Agung belum memutuskan kasasi yang
telah diajukan sejak 5 Maret 2007.
Pada
tahun 1984 itu, jelas korban telah dikorbankan oleh kebijakan anti kritik
Soeharto dan brutalitas aparat keamanan. Pada era transisi politik, setelah
belas… bahkan puluhan tahun upaya koreksi pun tetap didominasi oleh pelaku.
Tidak ada yang dihukum, tidak ada perbaikan kondisi korban bahkan tidak diakui
adanya pelanggaran berat HAM.
Masyarakat terus dikorbankan dari perilaku kekerasan, menjadi
korban sistem peradilan yang tidak adil dan jujur. Transisi politik tidak
digunakan untuk mengambil pelajaran dari kegagalan dimasa lalu, sebagaimana
yang terjadi pada kasus Tanjung Priok.
Akan tetapi keluarga korban tidak pernah lupa dan akan tetap
menuntut pertanggung jawaban pemerintah atas keadilan, kebenaran, maupun
reparasi.