Selasa, 10 Januari 2017

Australia Terbanyak Pasok Dana Teroris Indonesia

Centre of Reporting and Financial Transaction Analysis  atau Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Muhammad Yusuf mengatakan sebagian besar pendanaan untuk para teroris melakukan aksinya di Indonesia berasal dari Australia.
“Negara yang pernah kirim dana ke Indonesia paling banyak dari Australia,” kata Yusuf saat rapat bersama Panitia Khusus revisi UU nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Terorisme di Gedung DPR, Jakarta, pada September 2016.
 Australia Terbanyak Pasok Dana Teroris Indonesia
Dia menjelaskan Australia mengirimkan dana sebesar kurang lebih Rp88,5 milyar ke para “foreign terorisme fighter” yang ada di Indonesia. M Yusuf mengatakan frekuensi dana yang masuk dari Australia itu sebanyak 97 kali melalui berbagai cara baik perseorangan atau kelompok.

“Lalu negara lainnya yang juga dianggap banyak mengirimkan dugaan pendanaan terorisme ada di Brunei dengan kisaran Rp2,6 milyar, disusul dengan Malaysia, Filipina, Singapura, Korea Selatan dan Thailand,” ujarnya.
Sementara itu, Yusuf juga menyampaikan adanya pemasok uang untuk jaringan teroris, yaitu berasal dari Australia dan negara-negara timur tengah seperti Irak, Lebanon dan Turki serta beberapa nama yayasan di Indonesia.
Menurut dia, beberapa yayasan itu membiayai para teroris untuk pergi ke luar negeri seperti Suriah menjadi “foreign terorism fighter“.
“Saya tidak sebut nama yayasan, beberapa yayasan juga biayakan mereka yang berangkat ke daerah teroris di luar negeri atau yang dikenal sebagai foreign terorisme fighter (FTF),” katanya.

Cara Penyaluran Dana Untuk Teroris
M Yusuf menjelaskan, terkait cara penyalurannya ada melalui berbagai cara, seperti dari menggunakan sewa orang bahkan ada yang sampai menikahi dulu pasangan warga negara Indonesia.
Setelah itu, menurut dia, sang isteri diminta untuk membuka rekening khusus guna menerima alokasi dana dugaan terorisme. “Adapun penggunaan instrumen pembayaran terkini yang baru saat ini ada dua cara yang ditemukan PPATK,” ujarnya. Dia menilai rata-rata kini pembayarannya dengan menggunakan transaksi pembayaran virtual.
M. Yusuf mengatakan, pertama dengan menggunakan instrumen global payment gateaway seperti paypal, dan kedua, penggunaan instrumen virtual currency seperti bitcoinSementara itu dia memaparkan bahwa Indonesia ternyata juga menjadi bagian dari pemasok dana kepada terduga teroris ke negara lainnya.
Dalam rincian yang dipaparkan PPATK, Indonesia mengirim ke Hongkong sebesar Rp31,2 milyar, Indonesia mengirim ke Filipina sebesar Rp229 M dan Indonesia mengirim ke Australia Rp 5,3 milyar.

Senin, 09 Januari 2017

AWAS MEDIA ANTEK FREEMANSON bin WAHYUDI

Assalamu'alaikum..

Jakarta, Senin (9/1/2017) Pemerintah (Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara) Pastikan Tidak Tebang Pilih Blokir Berita Hoax, namun poto ini pada tahun kemarin 2016 Masehi jelas bukan berita Hoax..

Bismillah..

Janganlah orang-orang beriman menjadikan orang kafir sebagai penolong setia atau pelindung dengan meninggalkan orang-orang beriman yang lain. Barangsiapa yang melakukannya, maka dia telah lepas dari Allah.Kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka.Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya.Dan hanya kepada Allah kembali (mu)” (QS. Ali ‘Imron : 28)

HAI ORANG-ORANG YANG BERIMAN, JANGANLAH KAMU MENGAMBIL MUSUH-KU DAN MUSUH MU MENJADI TEMAN-TEMAN SETIA yang kamu sampaikan kepada mereka (berita-berita Muhammad), karena rasa kasih sayang; padahal sesungguhnya mereka telah ingkar kepada kebenaran yang datang kepadamu, mereka mengusir Rasul dan (mengusir) kamu karena kamu beriman kepada Allah, Tuhanmu. Jika kamu benar-benar keluar untuk berjihad di jalan-Ku dan mencari keridhaan-Ku (janganlah kamu berbuat demikian). Kamu memberitahukan secara rahasia (berita-berita Muhammad) kepada mereka, karena rasa kasih sayang. Aku lebih mengetahui apa yang kamu sembunyikan dan apa yang kamu nyatakan. Dan barangsiapa di antara kamu yang melakukannya, maka sesungguhnya dia telah tersesat dari jalan yang lurus.” (QS. Al Mumtahanah : 1)

Jadi anda tahu, kepada siapa mereka berpihak..
Salam Rempug, Ingat Jangan Ambil Berite Dari Teman Setia Dari Kaum Kuffar..

Jumat, 06 Januari 2017

Resapi Nilai Kerempugan

Tak heran jika ditanah betawi sebagai ibukota Jakarta dikenal sebagai masyarakat multikultural (memiliki latar belakang budaya yang beragam) Sejak akhir abad yang lalu dan khususnya setelah kemerdekaan (1945), Jakarta dibanjiri imigran dari seluruh Indonesia, sehingga orang Betawi — dalam arti apapun juga — tinggal sebagai minoritas. Pada tahun 1961, 'suku' Betawi mencakup kurang lebih 22,9 persen dari antara 2,9 juta penduduk Jakarta pada waktu itu.

Mereka semakin terdesak ke pinggiran, bahkan ramai-ramai digusur dan tergusur ke luar Jakarta. Proses asimilasi dari berbagai suku yang ada di Indonesia hingga kini terus berlangsung dan melalui proses panjang itu pulalah salah satu caranya Kerempugan Betawi hadir di bumi Nusantara.

Alhamdulillah, Berkat semangat Almagfurllah Alm. KH. A Fadloli El Muhir yang bertekad bulat untuk mengangkat harkat dan martabat masyarakat Betawi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai kerempugan dapat membangkitkan semangat masyarakat betawi melalui Organisasi Forum Betawi Rempug yang ia dirikan bersama para Tokoh Betawi lainnya.

Sehingga dengan jerihpayah kerempugan yang mereka lakukan membuahkan hasil yang sangat berarti bagi kelangsungan hidup bangsa, negara dan masyarakat betawi khususnya didalamnya. Atas dasar kerempugan inilah semangat masyarakat betawi lebih semangat untuk bangkit dan semakin kuat menghadapi arus era moderenisasi ibukota Jakarta dikenal sebagai masyarakat multikultural.

Kerempugan bukan hanya kalimat semata yang kita ketahui. Akan tetapi kalimat tersebut mengandung makna yang sangat penting.

Kerempugan itu menumbuhkan sifat kekeluargaan, kebersamaan dan memperkuat Tali silahturahmi, dengan tujuan membawa kedamaian dan ketentraman di DKI Jakarta,  agar tidak ada lagi perpecahan maupun pertikaian yang membuat bangsa kita tidak saling menyakiti satu sama lain.

Kerempugan itu menumbuhkan sikap tolong menolong, toleransi dan rasa kemanusiaan di setiap lingkungan, dengan tujuan setiap orang mampu menghargai adanya perbedaan dan berperilaku adil terhadap sesama yang membutuhkan bantuan, agar tidak menimbulkan rasa iri hati.

Kerempugan itu mengadakan musyawarah dalam setiap kegiatan, yang berarti kerempugan dapat mewujudkan adanya musyawarah dalam menentukan suatu keputusan yang terbaik untuk masyarakat dan bangsa, tanpa mementingkan kepentingan pribadi.

Tanpa adanya kerempugan dalam diri, bermasyarakat akan berdampak sangat buruk bagi lingkungan bangsa dan negara kita ini. Salah satu dampak buruknya yang bisa terjadi yaitu dapat memecah belah kehidupan dilingkungan masyarakat. Sehingga akan menimbulkan yang namanya permusuhan, hati dan pikiranpun akan terbebani akan hal itu, bahkan berdampak kerugian secara fisik maupun materil dan ditertawakan bangsa asing.

Karena Kerempugan bukanlah wadah kearoganan ataupun sifat keangkuhan. Kerempugan bukanlah alasan yang dimana kekuatan bisa menjadi segalanya dan menindas untuk terwujudnya kepentingan. Kerempugan itu bentuk rasa simpatik pemersatu bangsa.

Tumbuhkanlah selalu nilai-nilai kerempugan untuk mempererat tali silahturahmi, bukan hanya khusus kaum betawi, namun mari kita ciptakan kerempugan berskala nasional dalam satu wadah NKRI. Melalui budaya, social, politik dan organisasi bahwa kaum betawi menjunjung tinggi nilai kerempugan demi terciptanya kedaulatan Indonesia yang hakiki.


Salam Rempug..

Selasa, 03 Januari 2017

Ormas Betawi dan Eksistensi

Dalam buku Babad Tanah Betawi, Ridwan Saidi sang penulis buku tersebut, “mengklaim” bahwa nenek moyang orang Betawi adalah Aki Tirem atau  Sang Aki Luhur Mulya, seorang penghulu kampung yang  tinggal di pinggiran Kali Tirem, Warakas, Tanjung Priuk.

Aki Tirem sebagaimana yang tercatat dalam Naskah Pangeran Wangsakerta dalam Pustaka Rajyarajya I Bhumi Nusantara, Parwa 1, Sarga 1, adalah putera Ki Srengga, Ki Srengga Putera Nyai Sariti Warawiri, Nyai Sariti Warawiri puteri Sang Aki Bajulpakel, Aki Bajulpakel putera Aki Dungkul dari Swarnabhumi bagian selatan kemudian berdiam di Jawa Barat sebelah Barat, Aki Dungkul putera Ki Pawang Sawer, Ki Pawang Sawer Putera Datuk Pawang Marga, Datuk Pawang Marga putera Ki Bagang yang berdiam
di swarnabhumi sebelah utara, Ki Bagang putera Datuk Waling yang berdiam di Pulau Hujung Mendini, Datuk Waling putera Datuk Banda, ia berdiam di dukuh tepi sungai, Datuk Banda putera Nesan, yang berasal dari Langkasungka. Sedangkan Nenek moyangnya berasal dari negeri Yawana sebelah barat.

Setelah menikahkan anaknya Pohaci Larasati dengan sorang pangeran pelarian dari India yang berilmu tinggi, Dewawarman, maka keturunan Aki tirem inilah yang oleh Ridwan Saidi disebut sebagai manusia proto betawi. dan terus berkembang sampai sekarang sebagai etnis yang mendiami wilayah Jakarta dan sekitarnya.

Menurut perkiraan saat ini, orang Betawi yang ada di Jakarta itu ada sekitar 27 persen atau 2.310.587 jiwa. Jumlah ini artinya etnis Betawi menjadi etnis terbanyak kedua setelah etnis Jawa yang sekitar 33 persen. Warga pribumi Jakarta ini hidup terpencar-pencar di lima wali kota. Lalu etnis Betawi yang hidup di Bekasi, Tangerang, dan Depok mencapai angka 2.340.000-an jiwa.

Betawi sebagai etnis sudah ada sejak lama, secara tertulis sebutan orang Betawi pertama kali terdapat dalam dokumen 1644 berupa testament Nyai Inqua, janda Tuan Tanah Souw Beng Kong, Kapiten Tionghoa pertama ditanah Betawi. Tetapi sebagai satuan sosial dan politik, etnis Betawi baru muncul ketika Mohamad Husni Thamrin mendirikan organisasi kemasarakatan Perkoempoelan Kaoem Betawi.  Di saat itu mungkin baru kaum terpelajar dan segelintir saja orang Betawi, yang sadar sebagai suatu golongan etnis yang akan berperan dalam panggung sosial politik.

Ormas Betawi Dan Etnisitas

Organisasi kemasyarakatan adalah salah satu wadah warga, rakyat, masyarakat untuk berekspresi, mengapresiasikan pikirannya ditengah masyarakat bangsa, negara. Dengan wadah ini mereka bebas mengemukakan ide-idenya, melampiaskan isi hatinya serta sadar memperjuangkan hak-hak sipilnya. Dalam rangka pelaksanaan pemerintahan yang baik dan dibentuk oleh masyarakat secara sukarela berdasarkan kesamaan aspirasi, kehendak, kebutuhan, kepentingan, kegiatan, dan tujuan untuk berpartisipasi dalam pembangunan demi tercapainya tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila.

Ormas itu kepentingannya  lebih luas dan tidak lah sempit, dalam arti tidak hanya mempunyai satu ataupun dua kepentingan saja namun juga memandang kepentingan aspek segi kemanusiaan, sosial, politik dan budaya masyarakat sesuai pasal 1 s/d 6 Undang-undang No.17 tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan. Bahwa Ormas berfungsi sebagai sarana dan mewujudkan tujuan negara.

Orang Betawi sendiri, sebagai tuan rumah yang makin tersisih di tengah keragaman etnik di ibu kota, mencoba berhimpun untuk mengangkat eksistensinya. Kini mereka tumbuh sebagai sebuah komunitas dalam beberapa organisasi kemasyarakatan. Bagi sebagian besar warga Jakarta, nama Forum Betawi Rempug atau FBR yang dikomandani KH. Fadholi El Muhir, sudah sangat familiar. Ada yang lewat Forum Komunikasi Anak Betawi (FORKABI), Ikatan Keluarga Besar Tanah Abang (IKBT), Persatuan warga Betawi (PERWABI), Persatuan Masyarakat Betawi(PMB), Persatuan Orang Betawi (POB) dan masih banyak lagi.

Pasca lengsernya Orde Baru, bangsa Indonesia dihadapkan pada realitas sosial politik yang benar-benar tidak menguntungkan dan jauh dari kondusif. Jika selama Orde Baru, aparat negara sering terlibat kekerasan sosial dan politik. Maka di era reformasi ini, aksi-aksi kekerasan diambil alih oleh oknum ormas-ormas sektarian. Ormas-ormas ini ada yang mengusung suku maupun agama.

Kekuatiran memang sering muncul kalau ada ormas yang basisnya adalah ikatan primordial terutama suku. Misalnya, ormas yang berbasis massa betawi seperti FBR, FORKABI, PMB, POB dan lainnya, ormas Banten seperti Persatuan Pendekar Persilatan Seni Budaya Banten Indonesia (PPPSBBI), Kelompok Ambon, Kelompok Flores, Kelompok Madura dan sebagainya. Kekuatirannya adalah masyarakat justru akan terpecah belah menurut garis-garis primordial. Dan ribetnya lagi semua ormas diluar suku betawi tersebut berbasis tumplek-blek ditempat yang sama, di Tanah Betawi.  

Sebagai Ibu Kota negara, Jakarta memang menjadi impian orang manapun di negeri ini, makanya tak heran setiap tahun, bulan, minggu, hari para pendatang baru terus berbondong-bondong membanjiri Jakarta, sehingga memunculkan kemiskinan dan pengangguran baru. Kemiskinan merupakan salah satu penyebab utama lahirnya premanisme dan “penyakit masyarakat” lainnya. Apalagi kini angka pengangguran terus meningkat. maraknya premanisme lebih disebabkan oleh kemiskinan mental dan kemiskinan natural, dalam arti tidak mempunyai materi. Pelaku premanisme umumnya orang yang tidak mengenyam pendidikan. Selain itu, mereka berasal dari keluarga yang biasanya miskin.

Dikarenakan faktor tersebut, berbagai Oknum Ormas sering terlibat dalam beberapa peristiwa yang memancing emosi massa di Jakarta. Bahkan sentimen primordialisme mereka semakin terbakar, tatkala mereka harus berhadapan dengan etnis lain untuk mempertahankan eksistensinya.

Meskipun terkadang muncul gerakan massa yang begitu keras tekanannya, memakai nama etnis dan kelompok agama, namun sepak terjang ORMAS sangat mempengaruhi situasi di daerah, terutama dalam bidang politik, ekonomi dan social lainnya, bahkan menggeser kedudukan Parpol untuk lebih merespon kepentingan masyarakat.

Wajah Betawi Milenium

Mungkin fenomena ini adalah bagian lain dari wajah betawi millennium selaian yang ditulis Ridwan Saidi dalam bab terakhir buku babad tanah betawi, wajah Betawi millennium bukan Cuma Sarnadi Adam, Ihsanudin Noorsy, Jefry Al-Bukhori, Sandra Dewi.

Wajah Betawi millennium juga adalah Masnah, seorang pelantun lagu-lagu gambang kromong “lagu dalam”, yang tinggal ditangerang dan harus dikembangkan.

Wajah betawi millennium adalah Haji Sama Saleh Cengkareng dan Bang Warno Rawabelong, yang masih sering ngelancarin jurus-jurus pukul seliwa Betawinya, meskipun sudah tidak adalagi anak muda yang datang berguru kepadanya.

Wajah Betawi millennium adalah Nalih cucu Saim, pimpinan grup lenong Kim-Seng, yang anaknya harus putus sekolah karena grup lenongnya sudah jarang sekali di tanggap orang betawi yang hajatan.

Wajah betawi millennium adalah para pemuda kita yang menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan melestarikan budayanya.

Dan beruntung kite masih ada FBR, FORKABI, PMB, IKBT, POB dan lainya, yang meskipun berparas jawara, namun masih mampu berpartisipasi membina, memberdayakan, memelihara, menjaga dan memperkuat masyarakat pribumi dan non-pribumi dan masih mampu memalingkan wajah orang-orang dari suku lain untuk tetap mengingat Betawi, atau untuk memberi tahu bahwa betawi masih eksis di kampungnya sendiri.

Sabtu, 31 Desember 2016

Sejarah Tahun Baru Masehi.

Perlu diketahui bahwa perayaan kaum muslimin ada dua yaitu ‘Idul Fithri dan ‘Idul Adha. Anas bin Malik mengatakan,
كَانَ لِأَهْلِ الْجَاهِلِيَّةِ يَوْمَانِ فِي كُلِّ سَنَةٍ يَلْعَبُونَ فِيهِمَا فَلَمَّا قَدِمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِينَةَ قَالَ كَانَ لَكُمْ يَوْمَانِ تَلْعَبُونَ فِيهِمَا وَقَدْ أَبْدَلَكُمْ اللَّهُ بِهِمَا خَيْرًا مِنْهُمَا يَوْمَ الْفِطْرِ وَيَوْمَ الْأَضْحَى
Orang-orang Jahiliyah dahulu memiliki dua hari (hari Nairuz dan Mihrojan) di setiap tahun yang mereka senang-senang ketika itu. Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba di Madinah, beliau mengatakan, ‘Dulu kalian memiliki dua hari untuk senang-senang di dalamnya. Sekarang Allah telah menggantikan bagi kalian dua hari yang lebih baik yaitu hari Idul Fithri dan Idul Adha.’

Sejarah Tahun Baru Masehi

Awal tahun Masehi merujuk kepada tahun yang dianggap sebagai tahun kelahiran Nabi Isa Al-Masih (Yesus Kristus atau dalam bahasa Ibrani: "Yesua ha-Masiah") karena itu kalender ini dinamakan menurut Yesus atau Masihiyah (Mesias). Kebalikannya, istilah Sebelum Masehi (SM) merujuk pada masa sebelum tahun tersebut. Sebagian besar orang non-Kristen biasanya mempergunakan singkatan M dan SM ini tanpa merujuk kepada konotasi Kristen tersebut. Sistem penanggalan yang merujuk pada awal tahun Masehi ini mulai diadopsi di Eropa Barat selama abad ke-8. Penghitungan kalender ini dimulai oleh seorang biarawan bernama Dionysius Exiguus (atau "Denis Pendek") dan mula-mula dipergunakan untuk menghitung tanggal Paskah (Computus) berdasarkan tahun pendirian Roma.

Meskipun tahun 1 dianggap sebagai tahun kelahiran Isa Al-Masih, namun bukti-bukti historis terlalu sedikit untuk mendukung hal tersebut. Dionysius Exiguus tidak memperhitungkan tahun 0 serta tahun ketika kaisar Augustus memerintah Kekaisaran Romawi. Para ahli menanggali kelahiran Yesus secara bermacam-macam, dari 18 SM hingga 7 SM.

Sejarawan tidak mengenal tahun 0, tahun 1 M adalah tahun pertama sistem Masehi dan tepat setahun sebelumnya adalah tahun 1 SM. Dalam perhitungan sains, khususnya dalam penanggalan tahun astronomis, hal ini menimbulkan masalah karena tahun Sebelum Masehi dihitung dengan menggunakan angka 0, maka dari itu terdapat selisih 1 tahun di antara kedua sistem.

Tahun Baru pertama kali dirayakan pada tanggal 1 Januari 45 SM (sebelum masehi). Tidak lama setelah Julius Caesar dinobatkan sebagai kaisar Roma, ia memutuskan untuk mengganti penanggalan tradisional Romawi yang telah diciptakan sejak abad ketujuh SM. Dalam mendesain kalender baru ini, Julius Caesar dibantu oleh Sosigenes, seorang ahli astronomi dari Iskandariyah, yang menyarankan agar penanggalan baru itu dibuat dengan mengikuti revolusi matahari, sebagaimana yang dilakukan orang-orang Mesir.

Satu tahun dalam penanggalan baru itu dihitung sebanyak 365 seperempat hari dan Caesar menambahkan 67 hari pada tahun 45 SM sehingga tahun 46 SM dimulai pada 1 Januari. Caesar juga memerintahkan agar setiap empat tahun, satu hari ditambahkan kepada bulan Februari, yang secara teoritis bisa menghindari penyimpangan dalam kalender baru ini.

Pada tahun 45 SM Kaisar Julius Caesar mengganti kalender tradisional ini dengan Kalender Julian. Urutan bulan menjadi: 1) Januarius, 2) Februarius, 3) Martius, 4) Aprilis, 5) Maius, 6) Iunius, 7) Quintilis, 8) Sextilis, 9) September, 10) October, 11) November, 12) December. Di tahun 44 SM, Julius Caesar mengubah nama bulan “Quintilis” dengan namanya, yaitu “Julius” (Juli).
Sementara pengganti Julius Caesar, yaitu Kaisar Augustus, mengganti nama bulan “Sextilis” dengan nama bulan “Agustus”. Sehingga setelah Junius, masuk Julius, kemudian Agustus. Kalender Julian ini kemudian digunakan secara resmi di seluruh Eropa hingga tahun 1582 M ketika muncul Kalender Gregorian.

Januarius (Januari) dipilih sebagai bulan pertama, karena dua alasan. Pertama, diambil dari nama dewa Romawi “Janus” yaitu dewa bermuka dua ini, satu muka menghadap ke depan dan yang satu lagi menghadap ke belakang. Dewa Janus adalah dewa penjaga gerbang Olympus. Sehingga diartikan sebagai gerbang menuju tahun yang baru.

Kedua, karena 1 Januari jatuh pada puncak musim dingin. Di saat itu biasanya pemilihan konsul diadakan, karena semua aktivitas umumnya libur. Di bulan Februari konsul yang terpilih dapat diberkati dalam upacara menyambut musim semi yang artinya menyambut hal yang baru. Sejak saat itu Tahun Baru orang Romawi tidak lagi dirayakan pada 1 Maret, tapi pada 1 Januari. Tahun Baru 1 Januari pertama kali dirayakan pada tanggal 1 Januari 45 SM.

Orang Romawi merayakan Tahun Baru dengan cara saling memberikan hadiah potongan dahan pohon suci. Belakangan, mereka saling memberikan kacang atau koin lapis emas dengan gambar Dewa Janus. Mereka juga mempersembahkan hadiah kepada kaisar.

Seperti kita ketahu, tradisi perayaan tahun baru di beberapa negara terkait dengan ritual keagamaan atau kepercayaan mereka—yang tentu saja sangat bertentangan dengan Islam. Contohnya di Brazil. Pada tengah malam setiap tanggal 1 Januari, orang-orang Brazil berbondong-bondong menuju pantai dengan pakaian putih bersih. Mereka menaburkan bunga di laut, mengubur mangga, pepaya dan semangka di pasir pantai sebagai tanda penghormatan terhadap sang dewa Lemanja—Dewa laut yang terkenal dalam legenda negara Brazil.

Seperti halnya di Brazil, orang Romawi kuno pun saling memberikan hadiah potongan dahan pohon suci untuk merayakan pergantian tahun. Belakangan, mereka saling memberikan kacang atau koin lapis emas dengan gambar Janus, dewa pintu dan semua permulaan. Menurut sejarah, bulan Januari diambil dari nama dewa bermuka dua ini (satu muka menghadap ke depan dan yang satu lagi menghadap ke belakang).

Sedangkan menurut kepercayaan orang Jerman, jika mereka makan sisa hidangan pesta perayaan New Year’s Eve di tanggal 1 Januari, mereka percaya tidak akan kekurangan pangan selama setahun penuh. Bagi orang kristen yang mayoritas menghuni belahan benua Eropa, tahun baru masehi dikaitkan dengan kelahiran Yesus Kristus atau Isa al-Masih, sehingga agama Kristen sering disebut agama Masehi. Masa sebelum Yesus lahir pun disebut tahun Sebelum Masehi (SM) dan sesudah Yesus lahir disebut tahun Masehi.

Pada tanggal 1 Januari orang-orang Amerika mengunjungi sanak-saudara dan teman-teman atau nonton televisi: Parade Bunga Tournament of Roses sebelum lomba futbol Amerika Rose Bowl dilangsungkan di Kalifornia; atau Orange Bowl di Florida; Cotton Bowl di Texas; atau Sugar Bowl di Lousiana.

Di Amerika Serikat, kebanyakan perayaan dilakukan malam sebelum tahun baru, pada tanggal 31 Desember, di mana orang-orang pergi ke pesta atau menonton program televisi dari Times Square di jantung kota New York, di mana banyak orang berkumpul. Pada saat lonceng tengah malam berbunyi, sirene dibunyikan, kembang api diledakkan dan orang-orang menerikkan “Selamat Tahun Baru” dan menyanyikan Auld Lang Syne.Di negara-negara lain, termasuk Indonesia? Sama saja!

Bagi kita, orang Islam, merayakan tahun baru Masehi, tentu saja akan semakin ikut andil dalam menghapus jejak-jejak sejarah Islam yang hebat. Sementara beberapa pekan yang lalu, kita semua sudah melewati tahun baru Muharram, dengan sepi tanpa gemuruh apapun.


Dari sini kita dapat menyaksikan bahwa perayaan tahun baru dimulai dari orang-orang kufar dan sama sekali bukan dari Islam. Perayaan tahun baru ini terjadi pada pergantian tahun kalender Gregorian yang sejak dulu telah dirayakan oleh orang-orang kufar dan di lanjutkan hingga sekarang.

Senin, 12 September 2016

Tragedi Tanjung Priok 1984: Pembantaian Kaum Muslimin Oleh ABRI

Peristiwa tragedi kemanusiaan di Tanjung Priok pada pertengahan tahun 1984, merupakan salah satu dari sekian banyak rentetan jejak dan fakta kelamnya masa pemerintahan Suharto. Satu masa rezim militer yang berlumuran darah dari awal masa kekuasaannya sampai akhir masa kediktatorannya.

Pada artikel kali ini, kami akan mencoba menguak sedikit dari banyaknya tandatanya-tandatanya besar yang masih tersimpan di saku tiap rakyat Indonesia yang tercinta ini dan belum terjawab, bahkan tak akan pernah terjawab.

Hal itu dilakukan karena pada masa rezim New Order atau Orde Baru itu, banyak sekali sejarah-sejarah yang tak boleh dipublikasikan, ditulis ulang, dibengkokkan, lalu di propagandakan melalui media-media zombie yang pada masa lalu, bagai ‘media peliharaan’.

Suharto, presiden diktator era Orde Baru (New Order) yang berkuasa selama 32 tahun yang selalu menang pemilu 6 kali berturut-turut alias hat trick dua kali oleh pemilihan presiden secara tak langsung (dipilih oleh DPR/MPR).

Kemiliteran dibentuk untuk menopang kekuasannya dan selalu siap menjalankan perannya sebagai kekuatan negara untuk menghadapi rongrongan ideologi apapun, termasuk ideologi agama yang diakui di Indonesia.

Kekuasaan penuh yang dimiliki militer saat itu meluas mencakup penghancuran setiap bentuk gerakan oposisi politik apapun. Fungsi kekuasaan militer untuk melakukan tindakan pemeliharaan keamanan dan kestabilan negara dianggap sebagai suatu bentuk legitimasi untuk dapat melakukan berbagai macam bentuk tindakan provokatif tersistematif dan represif.

Mereka menggunakan dalih pembenaran sepihak yaitu sebagai tindakan pengamanan terhadap kekuasaan, meskipun dengan melakukan pelanggaran-pelanggaran HAM paling berat sekalipun.

Peristiwa berdarah Tanjung Priok 1984, adalah satu peristiwa yang sudah disiapkan sebelumnya dengan matang oleh intel-intel militer. Militerlah yang menskenario dan merekayasa kasus pembataian Tanjung Priok.

Ini adalah bagian dari operasi militer yang bertujuan untuk mengkatagorikan kegiatan-kegiatan keislaman sebagai suatu tindak kejahatan, dan para pelaku dijadikan sasaran korban.

Terpilihnya Tanjung sebagai tempat sebagai “The Killing Feld juga bukan tanpa survey dan analisa yang matang dari intelejen. Kondisi sosial ekonomi Tanjung Priok yang menjadi dasar pertimbangan. Tanjung Priok adalah salah satu wilayah basis Islam yang kuat, denga kondisi pemukiman yang padat.

Mayoritas penduduknya tinggal dirumah-rumah sederhana yang terbuat dari barang bekas pakai dan kebanyakan penduduknya bekerja sebagai buruh galangan kapal, dan buruh serabutan.

Dengan kondisi sosial ekonomi yang rendah ditambah dengan pendidikan yang minim seperti itu, menjadikan Tanjung Priok sebagai wilayah yang mudah sekali terpengaruh dengan gejolak dari luar, sehingga mudah sekali tersulut berbagai isu.

Suasana panas di Tanjung Priok sudah dirasakan sebulan sebelum peristiwa itu terjadi. Upaya -upaya provokatif memancing massa telah banyak dilakukan. Diantaranya, pembangunan gedung Bioskup Tugu yang sering memutar film maksiat yang berdiri persis berseberangan degan masjid Al-Hidayah.


Tokoh-tokoh Islam menduga keras bahwa suasana panas itu memang sengaja direkayasa oleh orang-orang tertentu di pemerintahan yang memusuhi Islam. Suasana rekayasa ini terutama sekali dirasakan oleh ulama-ulama di luar Tanjung Priok.

Sebab, di kawasan lain kota di Jakarta terjadi sensor yang ketat terhadap para mubaligh, kenapa di Tanjung Priok sebagai basis Islam para mubalighnya bebas sekali untuk berbicara, bahkan mengkritik pemerintah dan menentang azas tunggal Pancasila. Tokoh senior seperti M Natsir dan Syarifudin Prawiranegara sebenarnya telah melarang ulama untuk datang ke Tanjung Priok agar tidak masuk perangkap, namun seruan itu rupanya tidak terdengar oleh ulama-ulama Tanjung Priok.

Awal Mula Peristiwa, kejadian berdarah Tanjung Priok dipicu oleh tindakan provokatif tentara

Pada pertengahan tahun 1984, beredar isu tentang RUU organisasi sosial yang mengharuskan penerimaan azas tunggal. Hal ini menimbulkan implikasi yang luas. Diantara pengunjung masjid di daerah ini, terdapat seorang mubaligh yang terkenal, menyampaikan ceramah pada jama’ahnya dengan menjadikan isu ini sebagi topik pembicarannya, sebab Rancangan Undang-Undang tsb sudah lama menjadi masalah yang kontroversial.

Pada tanggal 7 September 1984, seorang Babinsa beragama Katholik sersan satu Harmanu datang ke musholla kecil yang bernama “Musholla As-sa’adah” dan memerintahkan untuk mencabut pamflet yang berisi tulisan problema yang dihadapi kaum muslimin pada masa itu, dan disertai pengumuman tentang kegiatan pengajian yang akan datang.

Tak heran jika kemudian orang-orang yang disitu marah melihat tingkah laku Babinsa itu. pada hari berikutnya Babinsa itu datang lagi beserta rekannya, untuk mengecek apakah perintahnya sudah dijalankan apa belum. Setelah kedatangan kedua itulah muncul isu yang menyatakan, kalau militer telah menghina kehormatan tempat suci karena masuk mushola tanpa menyopot sepatu, dan menyirami pamflet-pamflet di musholla dengan air comberan.

Kronologi Pembantaian

Kronologi Pembantaian Kaum Muslimin Oleh Bala Tentara pada Tragedi Tanjung Priok Berdarah 1984 oleh Saksi Mata Ust. Abdul Qadir Djaelani, salah seorang ulama yang dituduh oleh aparat keamanan sebagai salah seorang dalang peristiwa Tanjung Priok.
Karenanya, ia ditangkap dan dimasukkan ke dalam penjara. Sebagai seorang ulama dan tokoh masyarakat Tanjung Priok, sedikit banyak ia mengetahui kronologi peristiwa Tanjung Priok.
Berikut adalah petikan kesaksian Abdul Qadir Djaelani terhadap peristiwa Tanjung Priok 12 September 1984, yang tertulis dalam eksepsi pembelaannya berjudul “Musuh-musuh Islam Melakukan Ofensif terhadap Umat Islam Indonesia”.

Sabtu, 8 September 1984
Dua orang petugas Koramil (Babinsa) tanpa membuka sepatu, memasuki Mushala as-Sa’adah di gang IV Koja, Tanjung Priok, Jakarta Utara. Mereka menyiram pengumuman yang tertempel di tembok mushala dengan air got (comberan). Pengumuman tadi hanya berupa undangan pengajian remaja Islam (masjid) di Jalan Sindang.

 Ahad, 9 September 1984
Peristiwa hari Sabtu (8 September 1984) di Mushala as-Sa’adah menjadi pembicaran masyarakat tanpa ada usaha dari pihak yang berwajib untuk menawarkan penyelesaan kepada jamaah kaum muslimin.

 Senin, 10 September 1984
Beberapa anggota jamaah Mushala as-Sa’adah berpapasan dengan salah seorang petugas Koramil yang mengotori mushala mereka. Terjadilah pertengkaran mulut yang akhirnya dilerai oleh dua orang dari jamaah Masjid Baitul Makmur yang kebetulan lewat yaitu  Syarifuddin  Rmbe dan Sofyan Sulaiman dua orang takmir masjid “Baitul Makmur” yang berdekatan dengan Musholla As-sa’adah, berusaha menenangkan suasana dengan mengajak ke dua tentara itu masuk ke dalam sekretarit takmir mesjid untuk membicarakan masalah yang sedang hangat.
Ketika mereka sedang berbicara di depan kantor, massa diluar sudah terkumpul. Kedua pengurus takmir masjid itu menyarankan kepada kedua tentara tadi supaya persoalaan disudahi dan dianggap selesai saja. Tapi mereka menolak saran tersebut. Massa diluar sudah mulai kehilangan kesabarannya.
Sementara usaha penegahan sedang berlangsung, orang-orang yang tidak bertanggung jawab dan tidak ada urusannya dengan permasalahan itu tiba-tiba saja menarik salah satu sepeda motor milik prajurit yang ternyata seorang marinir dan membakarnya. Saat itu juga Syarifuddin Rambe dan Sofyan Sulaiman beserta dua orang lainnya ditangkap aparat keamanan.
Turut ditangkap juga Ahmad Sahi, Pengurus Musholla As-sa’adah dan satu orang lagi yang saat itu berada di tempat kejadian, selanjutnya Mohammad Nur yang membakar motor ditangkap juga. Akibat penahanan empat orang tadi kemarahan massa menjadi tak terbendung lagi, yang kemudian memunculkan tuntutan pembebasan ke empat orang yang ditangkap tadi.
Kodim, yang diminta bantuan oleh Koramil, mengirim sejumlah tentara dan segera melakukan penangkapan. Ikut tertangkap 4 orang jamaah, di antaranya termasuk Ketua Mushala as-Sa’adah tersebut.
 Selasa, 11 September 1984
Pada tanggal 11 September 1984, Massa yang masih memendam kemarahannya itu datang ke salah satu tokoh didaerah itu yang bernama Amir Biki, karena tokoh ini dikenal dekat dengan para perwira di Jakarta. Maksudnya agar ia mau turun tangan membantu membebaskan para tahanan. Sudah sering kali Amir Biki menyelesaikan persoalan yang timbul dengan pihak militer.
Amir Biki menghubungi pihak-pihak yang berwajib untuk meminta pembebasan empat orang jamaah yang ditahan oleh Kodim, yang diyakininya tidak bersalah. Peran Amir Biki ini tidak perlu mengherankan, karena sebagai salah seorang pimpinan Posko 66, dialah orang yang dipercaya semua pihak yang bersangkutan untuk menjadi penengah jika ada masalah antara penguasa (militer) dan masyarakat. Usaha Amir Biki untuk meminta keadilan ternyata tidak berhasil dan sia-sia.
 Rabu, 12 September 1984
Dalam suasana tantangan yang demikian, acara pengajian remaja Islam di Jalan Sindang Raya, yang sudah direncanakan jauh sebelum ada peristiwa Mushala as-Sa’adah, terus berlangsung juga. Penceramahnya tidak termasuk Amir Biki, yang memang bukan mubalig dan memang tidak pernah mau naik mimbar.
Akan tetapi, dengan latar belakang rangkaian kejadian di hari-hari sebelumnya, jemaah pengajian mendesaknya untuk naik mimbar dan memberi petunjuk. Pada kesempatan pidato itu, Amir Biki berkata antara lain,
“Mari kita buktikan solidaritas islamiyah. Kita meminta teman kita yang ditahan di Kodim. Mereka tidak bersalah. Kita protes pekerjaan oknum-oknum ABRI yang tidak bertanggung jawab itu. Kita berhak membela kebenaran meskipun kita menanggung risiko. Kalau mereka tidak dibebaskan maka kita harus memprotesnya.”
Dihadapan massa, Amir biki berbicara dengan keras, yang isinya mengultimatum agar membebaskan para tahanan paling lambat pukul 23.00 Wib malam itu juga. Bila tidak, mereka akan mengerahkan massa untuk melakukan demonstrasi.
Selanjutnya, Amir Biki berkata, “Kita tidak boleh merusak apa pun! Kalau ada yang merusak di tengah-tengah perjalanan, berarti itu bukan golongan kita (yang dimaksud bukan dari jamaah kita).”
Saat ceramah usai, berkumpulah sekitar 1500 orang demonstran yang bergerak menuju kantor Polsek dan Kormil setempat. Pada waktu berangkat jamaah pengajian dibagi dua: sebagian menuju Polres dan sebagian menuju Kodim.
Kelompok Yang Menuju Polres
Setelah sampai di depan Polres, kira-kira 200 meter jaraknya, di situ sudah dihadang oleh pasukan ABRI berpakaian perang dalam posisi pagar betis dengan senjata otomatis di tangan. Massa demonstran berhadapan langsung dengan pasukan tentara yang siap tempur.
Pada saat pasukan mulai memblokir jalan protokol, mendadak para demonstran sudah dikepung dari segala penjuru. Saat itu massa tidaklah beringas, sebagian besar mereka hanya duduk-duduk sambil mengumandankan takbir.
Sesampainya jamaah pengajian ke tempat itu, terdengar militer itu berteriak, “Mundur-mundur!” Teriakan “mundur-mundur” itu disambut oleh jamaah dengan pekik, “Allahu Akbar! Allahu Akbar!”
Saat itu militer mundur dua langkah, tanpa peringatan lebih dahulu terdengarlah suara tembakan, lalu diikuti oleh pasukan yang langsung mengarahkan moncong senjatanya ke arah demonstran, lalu memuntahkan senjata-senjata otomatis dengan sasaran para jamaah pengajian yang berada di hadapan mereka, selama kurang lebih tiga puluh menit!
Jamaah pengajian lalu bergelimpangan sambil menjerit histeris, tersungkur berlumuran darah. Beratus-ratus umat Islam jatuh menjadi syuhada! Disaat para demonstran yang terluka berusaha bangkit untuk menyelamatkan diri, pada saat yang sama juga mereka diberondong senjata lagi.
Malahan ada anggota militer yang berteriak, “Bangsat! Pelurunya habis. Anjing-anjing ini masih banyak!” Lebih sadis lagi, mereka yang belum mati ditendang-tendang dan kalau masih bergerak maka ditembak lagi sampai mati.
Tak lama berselang datang konvoi truk militer dari arah pelabuhan menerjang dan menelindas demostran yang sedang bertiarap di jalan. Dia buah mobil truk besar beroda sepuluh buah dalam kecepatan tinggi yang penuh dengan pasukan. Dari atas mobil truk besar itu dimuntahkan peluru-peluru dan senjata-senjata otomatis ke sasaran para jamaah yang sedang bertiarap dan bersembunyi di pinggir-pinggir jalan.
Lebih mengerikan lagi, truk besar tadi berjalan di atas jamaah pengajian yang sedang tiarap di jalan raya, melindas mereka yang sudah tertembak atau yang belum tertembak, tetapi belum sempat menyingkir dari jalan raya yang dilalui oleh mobil truk tersebut.
Jeritan dan bunyi tulang yang patah dan remuk digilas mobil truk besar terdengar jelas oleh para jamaah umat Islam yang tiarap di got-got/selokan-selokan di sisi jalan.
Dari atas truk tentara dengan membabi buta masih menembaki para demonstran. Dalam sekejap jalanan dipenuhi oleh jasad-jasad manusia yang telah mati bersimbah darah. Sedang beberapa korban yang terluka tidak begitu parah berusaha lari menyelamatkan diri berlindung ke tempat-tempat disekitar kejadian.
Setelah itu, truk-truk besar itu berhenti dan turunlah militer-militer itu untuk mengambil mayat-mayat yang bergelimpangan dan melemparkannya ke dalam truk bagaikan melempar karung goni.
Dua buah mobil truk besar itu penuh oleh mayat-mayat atau orang-orang yang terkena tembakan yang tersusun bagaikan karung goni. Sembari para tentara mengusung korban-korban yang mati dan terluka ke dalam truk militer, masih saja terdengar suara tembakan tanpa henti.
Semua korban dibawa ke rumah sakit tentara di Jakarta, sementara rumah sakit-rumah sakit yang lain dilarang keras menerima korban penembakan Tanjung Priok.
Sesudah mobil truk besar yang penuh dengan mayat jamaah pengajian itu pergi, tidak lama kemudian datanglah mobil-mobil ambulans dan mobil pemadam kebakaran yang bertugas menyiram dan membersihkan darah-darah di jalan raya dan di sisinya, sampai bersih.
Kelompok Yang Menuju Kodim
Sementara itu, rombongan jamaah pengajian yang menuju Kodim dipimpin langsung oleh Amir Biki. Kira-kira jarak 15 meter dari kantor Kodim, jamaah pengajian dihadang oleh militer untuk tidak meneruskan perjalanan, dan yang boleh meneruskan perjalanan hanya 3 orang pimpinan jamaah pengajian itu, di antaranya Amir Biki.
Begitu jaraknya kira-kira 7 meter dari kantor Kodim, 3 orang pimpinan jamaah pengajian itu diberondong dengan peluru yang keluar dari senjata otomatis militer yang menghadangnya. Ketiga orang pimpinan jamaah itu jatuh tersungkur menggelepar-gelepar.
Melihat kejadian itu, jamaah pengajian yang menunggu di belakang sambil duduk, menjadi panik dan mereka berdiri mau melarikan diri, tetapi disambut oleh tembakan peluru otomatis. Puluhan orang jamaah pengajian jatuh tersungkur menjadi syahid.
Saksimata
Menurut ingatan salahsatu saksi yang belum tewas bernama Yusron, di saat ia dan mayat-mayat itu dilemparkan ke dalam truk militer yang beroda 10 itu, kira-kira 30-40 mayat berada di dalamnya, yang lalu dibawa menuju Rumah Sakit Gatot Subroto (dahulu RSPAD).
Sesampainya di rumah sakit, mayat-mayat itu langsung dibawa ke kamar mayat, termasuk di dalamnya saudara Yusron. Dalam keadaan bertumpuk-tumpuk dengan mayat-mayat itu di kamar mayat, saudara Yusron berteriak-teriak minta tolong. Petugas rumah sakit datang dan mengangkat saudara Yusron untuk dipindahkan ke tempat lain.
Sebenarnya peristiwa pembantaian jamaah pengajian di Tanjung Priok tidak terjadi apabila PanglimaABRI/Panglima Kopkamtib Jenderal LB Moerdani benar-benar mau berusaha untuk mencegahnya, apalagi pihak Kopkamtib yang selama ini sering sesumbar kepada media massa bahwa pihaknya mampu mendeteksi suatu kejadian sedini dan seawal mungkin.
Hal ini terjadi karena pada tanggal 11 September 1984, sewaktu saya diperiksa oleh Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya, saya sempat berbincang-bincang dengan Kolonel Polisi Ritonga, Kepala Intel Kepolisian tersebut di mana ia menyatakan bahwa jamaah pengajian di Tanjung Priok menuntut pembebasan 4 orang rekannya yang ditahan, disebabkan membakar motor petugas.
Bahkan, menurut petugas-petugas satgas Intel Jaya, di saat saya ditangkap tanggal 13 September 1984, menyatakan bahwa pada tanggal 12 September 1984, kira-kira pukul 10.00 pagi. Amir Biki sempat datang ke kantor Satgas Intel Jaya.
Pemerintah menyembunyikan fakta jumlah korban dalam tragedi berdarah itu. Lewat panglima ABRI saat itu LB. Murdhani menyatakan bahwa jumlah yang tewas sebanyak 18 orang dan yang luka-luka 53 orang. Tapi data dari Sontak (SOlidaritas Untuk peristiwa Tanjung Priok) jumlah korban yang tewas mencapai 400 orang. Belum lagi penderitaan korban yang ditangkap militer mengalami berbagai macam penyiksaan. Dan Amir Biki sendiri adalah salah satu korban yang tewas diberondong peluru tentara. (Abdul Qadir Djaelani).

Tragedi Tanjung Priok 1984 Versi Pemerintah
Pemerintahan Soeharto banyak diwarnai peristiwa-peristiwa yang memakan korban jiwa, terutama mengarah terhadap umat Islam. Ini tentu tidak lepas dari “pesan” dan intervensi asing tentang apa yang disebut “politik menekan Islam”.

Kasus Tanjung Priok ini menjadi hal yang menarik. Karena tidak ada pernyataan tentang cita-cita Negara Islam yang disampaikan dalam ceramah-ceramah di Tanjung Priok. Yang disampaikan oleh para mubaligh di sana hanyalah ceramah-ceramah tajam dengan satu dua kata menyentil kebijakan penguasa.

Mereka mengecam kebijakan pemerintah yang dirasa menyudutkan umat Islam. Diantaranya adalah larangan memakai jilbab dan penerapan asas tunggal Pancasila, serta masalah kesenjangan sosial antara pribumi dengan non-pribumi.

Dalam bukunya Tanjung Priok Berdarah: Tanggung Jawab Siapa? Kumpulan Data dan Fakta (PSPI, 1998 : 26) dijelaskan bahwa proses terjadinya tragedi Priok pada hari Senin, 10 September 1984 ketika seorang petugas yang sedang menjalankan tugasnya di daerah Koja, dihadang dan kemudian dikeroyok oleh sekelompok orang.

Petugas keamanan berhasil menyelamatkan diri, tetapi sepeda motornya dibakar oleh para penghadang. Aparat keamanan pun menangkap empat orang pelakunya untuk keperluan pengusutan dan penuntutan sesuai ketentuan hukum yang berlaku. Untuk mengetahui nasib keempat orang yang ditahan, masyarakat sepakat bergerak ke kantor Kodim. Tetapi permintaan mereka ditolak.

Peristiwa ini terjadi pada hari Rabu, 12 September 1984. Pada saat itu, di Masjid Rawabadak berlangsung ceramah agama tanpa izin dan bersifat menghasut. Penceramahnya antara lain Amir Biki, Syarifin Maloko, M. Nasir, tidak pernah diketahui keberadaannya setelah peristiwa malam itu. Kemudian, aparat keamanan menerima telepon dari Amir Biki yang berisi ancaman pembunuhan dan perusakan apabila keempat tahanan tidak dibebaskan.
Setelah itu, sekitar 1500 orang menuju Polres dan Kodim. Hal ini senada dengan apa yang dijelaskan dalam buku Perjalanan Sang Jenderal Besar Soeharto 1921-2008 (Santosa, 2008:170) yang menjelaskan bahwa Amir Biki yang memimpin massa menuju Kodim untuk menuntut pembebasan mereka yang ditahan.

Ia juga berpesan agar selama perjalanan, massa jangan membuat anarkis. Tapi kegiatan ini tidak diikuti oleh para mubaligh karena mereka sudah diingatkan agar tidak keluar dari pusat pengajian.
Sampai di depan Polres Jakarta Utara massa dihadang aparat bersenjata. Jarak antara massa dengan aparat sangat dekat, kira-kira lima meter. Tidak ada dialog antara Amir Biki dengan aparat. Lima belas orang petugas keamanan menghambat kerumunan atau gerakan massa tersebut.

Regu keamanan berusaha membubarkan massa dengan secara persuasif, namun dijawab dengan teriakan-teriakan yang membangkitkan emosi dan keberingasan massa. Massa terus maju mendesak satuan keamanan sambil mengayun-ayunkan dan mengacung-acungkan golok dan senjata tajam.


Tak berapa lama ada komando untuk mundur. Pasukan terlihat mundur kira-kira 10 meter. Lalu ada komando “tembak”. Dalam jarak yang sudah membahayakan, regu keamanan mulai memberikan tembakan peringatan dan tidak dihiraukan. Tembakan diarahkan ke tanah dan kaki penyerang, korban pun tidak dapat dihindari.

Setelah datang pasukan keamanan lainnya, barulah massa mundur, tetapi mereka membakar mobil, merusak beberapa rumah, dan apotek.
Sekitar tiga puluh menit kemudian gerombolan menyerang kembali petugas keamanan, sehingga petugas keamanan dalam kondisi kritis dan terpaksa melakukan penembakan-penembakan untuk mencegah usaha perusuh merebut senjata dan serangan-serangan dengan celurit dan senjata tajam lainnya. Terjadilah tragedi pembantaian itu.

Aparat yang bersenjata itu menghujani tembakan terhadap ribuan massa dengan leluasa. Teriakan minta tolong tidak dihiraukan. Mereka yang berada di barisan depan bertumbangan bersimbah darah. Yang masih selamat melarikan diri. Ada juga yang tiarap, menghindari sasaran-sasaran peluru. Beberapa truk datang untuk mengangkut tubuh-tubuh korban dan menguburkannya di suatu tempat.

Proses Hukum
Hingga hari ini tak ada keadilan yang diberikan bagi korban yang dulunya ditembaki, ditangkap semena-mena, ditahan secara sewenang-wenang, disiksa, dihilangkan, distigma dan harta bendanya dirampas serta hak atas pekerjaan dan pendidikannya dirampas.
Masih terang diingatan korban, bagaimana pada tahun 2006 Mahkamah Agung memperagakan parade pembebasan hukum (Impunitas secara De Jure) terhadap sejumlah nama yang seharusnya bertanggung jawab; Sriyanto, Pranowo, Sutrisno Mascung dan RA. Butar-Butar.

Kegagalan Peradilan HAM untuk menghukum sesungguhnya telah tergambar dari buruknya kinerja Penuntut Umum.
Selain menghapus nama (Alm.) LB Moerdani dan Try Sutrisno dalam proses penyidikan, Kejaksaan Agung justru membuktikan kejahatan luar biasa (Extra Ordinary Crime) pada kasus Tanjung Priok dengan sistem pidana umum (Ordinary Crime) yang berbasis pada KUHAP.
Kegagalan lain diakibatkan oleh persoalan politik bahwa tidak adanya jaminan dari otoritas negara dalam mendukung administratif atas kerja Pengadilan HAM atas kasus Tanjung Priok. Selain itu Pemerintah tidak menyiapkan sistem perlindungan saksi yang memadai. Sementara, di pengadilan, Hakim membiarkan upaya sogok-menyogok terjadi antara pelaku dengan sejumlah saksi untuk mencabut kesaksian.
Pengadilan HAM bukan hanya gagal memberikan kepastian hukum berupa penghukuman terhadap para pelaku dalam kasus Tanjung Priok, Pengadilan Juga gagal memberikan kebenaran yang sejati atas kasus Tanjung Priok serta gagal menjamin kepastian reparasi (Perbaikan) atas penderitaan dan kerugian para korban Kasus Tanjung Priok 1984.
Banyak diantara para korban yang masih mempertanyakan keberadaan keluarganya yang masih hilang. Banyak diantara para korban yang sampai hari ini harus menanggung biaya pengobatan akibat atau efek dari kekerasan yang dialami pada 12 September 1984 atau kekerasan-kekerasan berikutnya.
Banyak diantara para korban yang harus kehilangan tempat usaha atau pekerjaannya akibat dirampas atau distigmatisasi sehingga tidak bisa mendapatkan pekerjaan.
Demikian pula para korban yang masih anak-anak, tidak bisa melanjutkan sekolahnya. Atau anak-anak korban yang kehilangan ayah atau kakaknya yang diharapkan menjadi penopang ekonomi.
Usaha pun tetap dilakukan oleh para korban lewat Pengadilan Negeri pada 28 Februari 2007 menuntut Pemerintah mengeluarkan dana kompensasi bagi korban. Namun, lagi-lagi, Hakim tunggal Martini Marjan menolak mentah-mentah permohonan Penetapan Kompensasi para korban dengan alasan tidak ada pelanggaran berat HAM dalam kasus Tanjung Priok 1984.
Jelas bahwa Hakim tunggal Martini Marjan Menegasikan fakta, penderitaan dan kerugian yang telah dihadirkan dalam persidangan Penetapan di PN Jakarta Pusat.
Sampai saat ini Mahkamah Agung belum memutuskan kasasi yang telah diajukan sejak 5 Maret 2007.
Pada tahun 1984 itu, jelas korban telah dikorbankan oleh kebijakan anti kritik Soeharto dan brutalitas aparat keamanan. Pada era transisi politik, setelah belas… bahkan puluhan tahun upaya koreksi pun tetap didominasi oleh pelaku. Tidak ada yang dihukum, tidak ada perbaikan kondisi korban bahkan tidak diakui adanya pelanggaran berat HAM.
Masyarakat terus dikorbankan dari perilaku kekerasan, menjadi korban sistem peradilan yang tidak adil dan jujur. Transisi politik tidak digunakan untuk mengambil pelajaran dari kegagalan dimasa lalu, sebagaimana yang terjadi pada kasus Tanjung Priok.
Akan tetapi keluarga korban tidak pernah lupa dan akan tetap menuntut pertanggung jawaban pemerintah atas keadilan, kebenaran, maupun reparasi.