Senin, 27 Desember 2010

Imam Betawi Rempug ( Penerus Ulama Benteng ASWAJA)

KH. Lutfi Hakim, MA Ketua Umum Forum Betawi Rempug (FBR) ini lahir di Jakarta 5 Nopember 1972. 
Lahir dari pasangan KH. Zahrudin bin Muhir dan Hj. Samiyah binti H. Jimmy, merupakan Ketua Umum FBR sejak 2009 menggalkan KH. Fadohli El Muhir yang merupakan pamannya.
Suami dari Hj. Eti Susilowati, SE dan ayah dari beberapa orang anak ini memulai pendidikan formalnya di SDN 13 Cakung. Setelah tamat SD, ia melanjutkan ke SMPN 144 Cakung. Tamat SMP, ia melanjutkan ke MAN 8 Cakung
Lulus dari Aliyah, ia kemudian kuliah di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Setelah itu, ia mengambil S2 sampai lulus dengan gelar MA di Universitas Islam Asy-Syafi'iyah. Selama kuliah, ia aktif di organisasi HMI Cabang Ciputat dari tahun 1995 s/d 1997. Ia aktif di FBR dari tahun 2001 sampai sekarang dengan jabatan terakhir sebagai Ketua Umum FBR.
Salah satu perhatiannya tercurahkan kepada pelestarian dan pengembangan Silat Ji'it. Konon, seni beladiri diri ini telah berkembang ratusan tahun di Cakung, Jakarta Timur, tempat kelahiran dan tempat tinggalnya sampai sekarang.
Menurutnya, meski tidak diketahui secara gamblang siapa penciptanya, namun seni beladiri ini menjadi keterampilan beladiri andalan para jawara Cakung. Untuk bisa mempelajari seni beladiri ini, setiap calon pesilat wajib melakukan sedekah atau sejenis selamatan sederhana. 
Uniknya,jamuan selamatan harus memuat tiga macam hidangan, termasuk yang harus dimakan calon pesilat, yakni nasi ketan, ikan capung, dan telor. Tiga makanan ini mengandung unsur magis saat pesilat mencapai tataran/tingkatan tertinggi. Nasi ketan diyakini mampu menyedot gerakan lawan, ikan capung membantn kelincahan gerak, dan telor untuk memumikan hati agar energi tubuh/tenaga dalam tergali dengan baik. Jika rangkaian jumlah dan tenaga dalam sudah dikuasai, maka ilmu beladiri pesilat akan disempurnakan dengan tenik memainkan golok khas Cakung.
"Kalau belum menguasai seluruh jurus Ji'it, pesilat belum boleh menggunakan golok
Cakung. Jadi kalau ada yang sudah bisa memainkan golok Cakung berarti sudah menguasai silat Ji' it
," ungkapnya pada sebuah kesempatan wawancara oleh sebuah media online. Dia mengungkapkan, setidaknya ada 13 Jurus dasar dalam silat Ji' it, mulai dari pukulan, tendangan hingga melumpuhkan lawan. Silat ini juga tergolong agak sulit dipelajari. Sebab, setiap teknik pukulan maupun tendangan bersifat pendek dan cepat. Bahkan, seluruh gerakan tidak ada gerakan mundur. "Seluruhnya maju. Pukulan-pukulan juga harus 'lengket' (pendek dan eepat). Belum lagi, kalau sudah pake golok harus benar-benar pas". 
Golok Cakung merupakan senjata pamungkas dalam seni beladiri ini. Sebab, teknik menggunakan golok Cakung memerlukan ketekunan dan keikhlasan. Mengingat golok Cakung punya makna dan nilai sejarah tersendiri. Konon, golok Cakung dieiptakan pertama kali oleh seorang empu. Sang empu tersebut hanya mengapit besi diketiak dan jadilah golok. Sehingga, golok Cakung memiliki ciri khas sedikit bengkok/tidak lurus. Sedangkan ciri lainnya, ujungnya meruncing ke arah bawah, tidak ke atas laiknya golok pada umumnya. Sedangkan panjangnya sekitar 30-35 sentimeter.
Ia mengungkapkan, saat ini tidak banyak warga Betawi Cakung yang mengusai silat tersebut. Sebab, untuk sampai tingkat tertingi cukup sulit. "Jadi kalau ada orang yang sudah menyimpang secara khusus golok Cakung pasti dia sudah menguasai Silat Ji' it. Saat ini paling 50 orang yang menguasai secara sempurna," kata Ketua FBR itu. Karenanya, melalui FBR, ia bertekad akan melestarikan silat warisan nenek moyang ini. Apalagi, menurut cerita warga setempat, silat Ji'it pernah dipakai warga Cakung melawan agresi militer Belanda saat terjadi perang di Karawang hingga Bekasi, dan perlawanan itu berhasil. 
"Silat ini umumya sudah ratusan tahun. Saat perang kemerdekaan Juga dipakai warga untuk melawan penjajah. Karena itu, melalui anggota kita terus sosialisasikan dan mencari penerus-penerus silat ini agar tidak punah," tukasnya.

Ondel - Ondel Bagian Yang Tidak Bisa Di Pisahkan Dari Simbol FBR

Lambang dari Forum Betawi Rempug  adalah ondel-ondel. Adapun makna dari ondel-ondel itu sendiri dalam FBR adalah sebagai berikut : 


Dalam kebudayaan Betawi ondel-ondel biasanya dipakai dalam upacara2 adat Betawi, dimana ada ondel-ondel pasti banyak orang yang berkumpul disana. Diharapkan FBR dapat mengumpulkan atau dalam bahasa Betawinya "rempug", semua elemen masyarakat Betawi, rempuk bersama berjuang agar masyarkat Betawi pada khususnya dapat menjadi "jagoan" dan "juragan" di kampung sendiri. 


Dahulu ondel-ondel dalam kebudayaan Cina dikenal dengan barongsai, dimana fungsinya adalah sebagai pengusir roh2 jahat. Diharapkan FBR sesuai slogan yang sering diuncapkan yaitu " ... Betawi ... Rempug, ... Yang kurang ajar ... Hajar ..." Insya Allah dapat memerangi segala kemungkaran yang menghalangi perjuangan FBR tentunya. 

Jika kita menyebutkan kata "Ondel-ondel" pastilah identik dengan Betawi. Lambang FBR adalah ondel-ondel, jadi ondel-ondel merupakan identitas para anggotanya, walaupun ia berada dimanapun jika orang melihat lambang ondel-ondel (FBR) tersebut orang akan langsung tahu bahwa FBR adalah Ormas Betawi dan ia adalah orang Betawi. 

Adapun sejarah dari Ondel-ondel sebagai berikut : 

Ondel-ondel adalah pertunjukan rakyat yang sudah berabad-abad terdapat di Jakarta dan sekitarnya, yang dewasa ini menjadi wilayah Betawi. Walaupun pertunjukan rakyat semacam itu terdapat pula di beberapa tempat lain seperti di Priangan dikenal dengan sebutan Badawang, di Cirebon disebut Barongan Buncis dan di Bali disebut Barong Landung, tetapi ondel-ondel memiliki karakteristik yang khas. Ondel-ondel tergolong salah satu bentuk teater tanpa tutur, karena pada mulanya dijadikan personifikasi leluhur atau nenek moyang, pelindung keselamatan kampung dan seisinya. Dengan demikian dapat dianggap sebagai pembawa lakon atau cerita, sebagaimana halnya dengan “bekakak” dalam upacara “potong bekakak” digunung gamping disebelah selatan kota Yogyakarta, yang diselenggarakan pada bulan sapar setiap tahun. 

Ondel-ondel berbentuk boneka besar dengan rangka anyaman bambu dengan ukuran kurang lebih 2,5M, tingginya dan garis tengahnya kurang dari 80 cm. Dibuat demikian rupa agar pemikulnya yang berada didalamnya dapat bergerak agak leluasa. Rambutnya dibuat dari ijuk,”duk” kata orang Betawi. Mukanya berbentuk topeng atau kedok, dengan mata bundar (bulat) melotot. 

Ondel-ondel yang menggambarkan laki-laki mukanya bercat merah, yang menggambarkan perempuan bermuka putih atau kuning. Ondel-ondel biasanya digunakan untuk memeriahkan arak-arakan, seperti mengarak pengantin sunat dan sebagainya. Lazimnya dibawa sepasang saja, laki dan perempuan. Tetapi dewasa ini tergantung dari permintaan yang empunya hajat. Bahkan dalam perayaan-perayaan umum seperti ulang tahun hari jadi kota Jakarta, biasa pula dibawa beberapa pasang, sehingga merupakan arak-arakan tersendiri yang cukup meriah. 

Musik pengiring ondel-ondel tidak tertentu, tergantung masing-masing rombongan. Ada yang diiringi Tanjidor, seperti rombongan ondel-ondel pimpinan Gejen, kampung Setu. Ada yang diiringi gendang pencak Betawi seperti rombongan “Beringin Sakti” pimpinan Duloh (alm), sekarang pimpinan Yasin, dari Rawasari. Adapula yang diiringi Bende, “Kemes”, Ningnong dan Rebana Ketimpring, seperti rombongan ondel-ondel pimpinan Lamoh, kalideres. 

Disamping untuk memeriahkan arak-arakan pada masa yang lalu biasa pula mengadakan pertunjukan keliling, “Ngamen”. Terutama pada perayaan-perayaan Tahun Baru, baik masehi maupun Imlek. Sasaran pada perayaan Tahun Baru Masehi daerah Menteng, yang banyak dihuni orang-orang Kristen.Pendukung utama kesenian ondel-ondel petani yang termasuk “abangan”, khususnya yang terdapat di daerah pinggiran kota Jakarta dan sekitarnya. 

Pembuatan ondel-ondel dilakukan secara tertib, baik waktu membentuk kedoknya demikian pula pada waktu menganyam badannya dengan bahan bambu. Sebelum pekerjaan dimulai, biasanya disediakan sesajen yang antara lain berisi bubur merah putih, rujak-rujakan tujuh rupa, bunga-bungaan tujuh macam dan sebagainya, disamping sudah pasti di bakari kemenyan. Demikian pula ondel-ondel yang sudah jadi, biasa pula disediakan sesajen dan dibakari kemenyan, disertai mantera-mantera ditujukan kepada roh halus yang dianggap menunggui ondel-ondel tersebut. Sebelum dikeluarkan dari tempat penyimpanan, bila akan berangkat main, senantias diadakan sesajen. Pembakaran kemenyan dilakukan oleh pimpinan rombongan, atau salah seorang yang dituakan. Menurut istilah setempat upacara demikian disebut “Ukup” atau “ngukup”.

Salam Rempug, Jage Adat Betawi...

Senjata Tradisional Betawi


Senjata merupakan alat kepanjangan tangan manusia dalam pembelaan diri, dalam setiap perkembangannya sangat dipengaruhi oleh kebudayaan dan lingkungan alam. Oleh karenanya sering ditemukan kesamaan model senjata antara satu daerah dengan daerah lain yang letak geografisnya berdekatan. Tidak sedikit dari senjata-senjata itu berakar dari alat pertanian dan perkakas sehari-hari, 


Proses asimilasi dan tranformasi kebudayaan pada suatu daerah, yang meski letak geografis saling berjauhan, memegang peranan yang cukup penting dalam perkembangan model senjata tradisional. Proses ini terjadi pada satu kebudayaan yang mempunyai karakter terbuka, seperti pada kebudayaan Melayu yang dalam perkembangannya banyak dipengaruhi oleh kebudayaan India (abad 1M) dan Cina (abad 16 M). 



Bagi masyarakat Betawi yang menurut arkeologi Uka Tjandrasasmita sebagai penduduk natif Sunda Kelapa (Monografi Jakarta Raya dan Sekitarnya Dari Zaman Prasejarah Hingga Kerajaan Pajajaran (1977), memiliki senjata tradisional yang belum terpengaruh kebudayaan asing sejak zaman Neolithikum atau zaman Batu Baru (3000-3500 tahun yang lalu). Hal ini dapat ditemukan pada bukti arkeologis di daerah Jakarta dan sekitarnya dimana terdapat aliran-aliran sungai besar seperti Ciliwung, Cisadane, Kali Bekasi, Citarum pada tempat-tempat tertentu sudah didiami oleh masyarakat manusia. 



Beberapa tempat yang diyakini itu berpenghuni manusia itu antara lain Cengkareng, Sunter tanjung priok, Cilincing, Kebon Sirih, Tanah Abang, Rawa Belong, Sukabumi, Kebon Nanas, Jatinegara, Cawang, Cililitan, Kramat Jati, Condet, Pasar Minggu, Pondok Gede, Tanjung Barat, Lenteng Agung, Kelapa Dua, Cipete, Pasar Jumat, Karang Tengah, Ciputat, Pondok Cabe, Cipayung, dan Serpong. Jadi menyebar hampir di seluruh wilayah Jakarta. 



Dari alat-alat yang ditemukan di situs-situs itu, seperti kapak, beliung, pahat, pacul yang sudah diumpam halus dan memakai gagang dari kayu, disimpulkan bahwa masyarakat manusia itu sudah mengenal pertanian (mungkin semacam perladangan) dan peternakan. Bahkan juga mungkin telah mengenal struktur organisasi kemasyarakatan yang teratur. 



Senjata Tradisional Betawi Genre Awal 



Rotan 
Rotan merupakan senjata tradisional masyarakat Betawi yang dahulu digunakan untuk menghadapi semua bahaya yang datang dari luar. Saat itu rotan berfungsi sebagai senjata pemukul, penyodok, penangkis dan alat berperang. Kini senjata ini hanya digunakan untuk permainan dan seni ketangkasan ujungan.

Pada seni ketangkasan ujungan, rotan adalah alat utama yang digunakan. Para pemain yang memngambil bagian dalam permainan ini akan membawa  rotan yang berfungsi untuk memukul lawan main. Rotan yang digunakan pada permainan ujungan mencapai panjang 70-100 cm. Beberapa benda tajam seperti paku atau pecahan logam akan disisipkan pada ujung rotan yang dimaksudkan untuk melukai lawan.


Pada perkembangan selanjutnya rotan yang digunakan dalam permainan ujungan ini hanya berkisar 70-80 cm. Lalu beberapa benda tajam seperti paku dan pecahan logam di ujung rotan pun tidak lagi digunakan. Tubuh lawan yang menjadi sasaran pun dibatasi hanya sebatas pinggang ke bawah, utamanya tulang kering dan mata kaki. Perubahan dalam permainan ujungan ini disebabkan oleh kesenian ketangkasan ini hanya difungsikan sebagai pertandingan yang sifatnya hiburan saja. Rotan yang disisipi benda tajam ini kemudian hanya digunakan saat berperang menghadapi musuh sesungguhnya.




Punta 
Punta adalah senjata tajam jenis tusuk, dengan panjang sekitar 15-20cm. Senjata ini lebih berfungsi sebagai senjata pusaka yang menjadi simbol strata sosial pada waktu itu, karena senjata tajam ini tidak pernah digunakan untuk bertarung. Di Jawa Barat mungkin dikenal sebagai Kujang, namun Kujang lebih variatif dari segi bentuk dan motif ciung. 


Beliung Gigi Gledek 
Beliung adalah sejenis kapak dengan mata menyilang kearah gagang pegangan, umumnya digunakan sebagai perkakas untuk membuat kayu. Beliung Gigi Gledek merupakan jenis kapak dengan mata kapak terbuat dari batu, merupakan teknik pembuatan senjata sisa peninggalan zaman batu baru di Betawi yang masih tersisa antara abad 1-3M. Beberapa tokoh yang diketahui pernah menggunakan ini sebagai senjata andalannya adalah Batara Katong (Wak Item) dan Salihun pemimpin kelompok Si Pitung. Beliung digunakan Salihun sebagai sarana dalam melakukan aksi perampokan maupun pelarian dengan memanjat pagar tembok.





Cunrik (Keris Kecil Tusuk Konde) 
Cunrik merupakan senjata tradisional para perempuan Betawi, biasa digunakan oleh para resi perempuan yang tidak ingin menonjolkan kekerasan dalam pembelaan dirinya, terbuat dari besi kuningan dengan panjang kurang dari 10cm. Salah seorang resi perempuan yang terkenal menggunakan cunrik ini adalah Buyut Nyai Dawit, pengarang Kitab Sanghyang Shikshakanda Ng Karesiyan (1518). Dimakamkan di Pager Resi Cibinong.

Dalam cerita rakyat Betawi pernah diceritakan mengenai kegigihan dan keberanian yang luar biasa dari beberapa wanita di tanah Betawi. Sejumlah cerita tersebut diantaranya adalah “Cerita Mirah Gadis Merunda“.

Dalam cerita Mirah Gadis Merunda dikisahkan bahwa setiap kali Bang Bodong (ayah Mirah) bertugas menjaga keamanan di wilayah kampung Marunda, Mirah selalu mendampingi dan tak jarang turun langsung berkelahi melawan perampok dan pengacau di wilayah Marunda. Semua penjahat selalu bisa dibekuk dan ditaklukannya.

Beberapa senjata yang dimiliki para wanita Betawi ini memang secara fisik tidak begitu menonjol layaknya senjata yang dibuat untuk para pria. Pada umumnya senjata para perempuan ini terbungkus dalam bentuk aksessoris seperti tusuk konde, cunrik, perisai maupun selendang.



Senjata Tradisional Betawi yang dipakai dalam Maenpukulan 



Golok 
Golok merupakan jenis senjata tajam masyarakat Melayu yang paling umum ditemukan, walaupun dengan penamaan yang berlainan berdasarkan daerahnya. Sebagian besar masyarakat di pulau Jawa sepakat menamakan senjata tajam jenis “bacok” ini dengan golok. Pada masyarakat Betawi keberadaan golok sangat dipengaruhi kebudayaan Jawa Barat yang melingkupinya. Perbedaan diantara keduanya dapat dilihat dari model bentuk dan penamaannya, sedangkan kualitas dari kedua daerah ini memiliki kesamaan mengingat kerucut dari sumber pande besi masyarakat Betawi mengacu pada tempat-tempat Jawa Barat, seperti Ciomas di Banten dan Cibatu di Sukabumi. 


Golok Gobang 
Golok Gobang, adalah golok yang berbahan tembaga, dengan bentuk yang pendek. Panjang tidak lebih dari panjang lengan (sekitar 30cm) dan diameter 7cm. Bentuk Golok Gobang yang pada ujung (rata) dan perut melengkung ke arah punggung golok, murni digunakan sebagai senjata bacok. Di Jawa Barat model Golok Gobang ini dinamakan Golok Candung. Bentuk gagang pegangan umumnya tidak menggunakan motif ukiran hewan, hanya melengkung polos terbuat dari kayu rengas. Masyarakat Betawi tengah menyebutnya dengan istilah “Gagang Jantuk”. Bilah golok gobang polos tanpa pamor atau wafak yang umum dipakai sebagai golok para jawara, dengan diameter 6cm yang tampak lebih lebar dari golok lainnya 



Golok Ujung Turun 

Golok ujung turun (lubuk) adalah jenis golok tanding yang memiliki bentuk lancip pada ujungnya. Bagi masyarakat Jawa Barat, golok ini merupakan perpaduan antara jenis mamancungan dan salam nunggal.

Dinamakan golok ujung turun karena golok ini memiliki bentuk punggung yang lurus dan bagian yang tajam dari golok ini juga dibentuk lurus. Lalu pada bagian ujung golok ini dibuat tumpul melengkung seperempat lingkaran mengarah ke bagian yang lebih tajam. Golok ujung turun memiliki bentuk yang berlawanan dengan golok salam nunggal.

Panjang [golok] ujung turun sekitar 40cm, dengan diameter 5-6 cm. Umumnya golok ini menggunakan wafak pada bilah dan motif ukiran hewan pada gagangnya. Agar golok tidak terlalu berat saat dibawa atau ketika bertarung maka gagang dan warangka golok ujung turun ini dibuat dari tanduk.

Makna ilmu padi yang semakin berisi semakin merunduk kiranya menjadi pedoman dalam pembuatan golok ujung turun dimana pada bagian ujung atas golok ini berbentuk melengkung seperempat lingkaran dari bagian punggung ke bagian yang tajam. Sedangkan dari nama dan bentuk golok yang mengecil ke bagian ujung golok ini mempunyai simbol bahwa semakin ke ujung kehidupan atau semakin tua usia manusia haruslah semakin bijakasana.


Golok Betok

Golok betok adalah golok pendek yang berfungsi sebagai senjata pusaka yang menyertai golok jawara. Jika pada saat pertarungan seorang jawara sudah tak ada senjata lagi di tangan, maka golok betok adalah senjata tajam terakhir untuk digunakan.

Golok betok tertua yang ditemukan di Betawi sudah berumur sekitar 800 tahun dan golok ini tercatat dalam sejarah sebagai senjata tradisional pertama yang ditemukan di wilayah nusantara.

Dari beberapa sumber mengatakan bahwa golok betok sudah ada jauh sebelum senjata khas Jawa Barat kujang diciptakan. Konon menurut cerita, kerajaan Padjajaran pernah meminta kepada sang empu agar dibuatkan kujang secepatnya, maka pembuatan golok betok pun menjadi tertunda.

Golok betok dibuat dari baja hitam dengan gagang kayu hitam juga yang bentuknya menyerupai ikan betok. Bila dilihat secara cermat, golok betok sebenarnya tak jauh berbeda dengan golok pada umumnya, hanya saja golok ini terlihat sedikit lebih pendek/bantet dan gemuk.

Minggu, 26 Desember 2010

Hanya "KIAMAT" yang dapat membubarkan FBR


Ahad, 29 April 2009. Langit kota Jakarta tampak teduh, seakan turut berduka cita atas wafatnya Ketua Umum Forum Betawi Rempug (FBR), KH. A. Fadloli el-Muhir, di RS Harapan kita pada pukul 14.45 wib. Ribuan masyarakat Betawi, yang terdiri dari pria dan wanita, yang mengenakan seragam hitam memadati kediaman KH. A Fadloli el-Muhir dan (sekaligus) Markas Besar FBR, yakni Pondok Pesantren Yatim "Ziyadatul Mubtadi-ien", yang terletak di Jl. Raya Penggilingan No. 100 Pedaengan Cakung Jakarta Timur. 

Suara isak tangis dan ratapan mereka seolah menggugat Sang Khalik dan mempertanyakan kenapa "Bapak" mereka begitu cepat harus dipanggil menghadap kehadirat-Nya. Tapi, takdir Tuhan tidak akan terbantahkan, hanya saja kita mungkin yang terlalu bodoh untuk menyingkap misteri atau hikmah dibalik keputusan-keputusan-Nya.


Ternyata sebagai masyarakat yang religius, FBR sadar bahwa perjuangan harus terus dilanjutkan. Isak tangis dan ratapan mereka pun selesai setelah jenazah Almarhum KH. A. Fadloli el-Muhir dikembumikan di pelataran Pondok Pesantren tersebut pada tanggal 30 April 2009 ba'da Shalat Zhuhur. Selanjutnya mereka sepakat untuk menunjuk KH. Lutfi Hakim, MA, yang sebelumnya menjabat Sekretaris Jenderal FBR, untuk melanjutkan tongkat estafe kepemimpinan di tubuh organisasi FBR dan Pondok Pesantren yatim "Ziyadatul Mubtadi-ien". 


Keputusan tersebut menepis asumsi sementara masyarakat bahwa FBR akan sirna bersama mangkatnya KH. A. Fadloli el-Muhir. Seorang pemimpin bisa dikatakan gagal apabila tidak berhasil memiliki penerus, dan beliau termasuk pemimpin yang sukses, karena banyak mempunyai kader-kader penerus kepemimpinannya, di antaranya adalah KH. Lutfi Hakim, MA.


KH. Lutfi Hakim, MA adalah salah seorang deklarator dan pendiri FBR serta pengurus pondok pesantren "Ziyadatul Mubtadi-ien. Penunjukan dirinya sebagai Ketua Umum FBR yang baru mengikuti tradisi kepemimpinan di tubuh FBR khususnya dan masyarakat Betawi pada umumnya bahwa panutan hidup mereka adalah para ulama, bukan para birokrat atau militer sebagaimana kepemimpinan pada sementara ormas yang lain.

Kini, masyarakat Betawi kembali mempunyai harapan, dan harapan itulah yang membuat mereka tetap hidup. Jika harapan mereka sirna, maka secara aktual ataupun potensial kehidupan mereka pun musnah. Harapan adalah unsur instrinsik struktur kehidupan, dinamika spirit manusia FBR. Harapan mereka berhubungan erat dengan unsur lain dari struktur kehidupan: yakni keimanan. Keimanan mereka itu bukan bentuk lemah dari kepercayaan atau pengetahuan. Ia juga bukan merupakan keyakinan kepada ini dan itu. 


Keimanan mereka adalah kepastian terhadap yang belum terjamin, pengetahuan tentang kemungkinan yang riil, dan kesadaran akan tetap berlanjutnya perjuangan untuk bangkit menjadi entitas yang diperhitungkan di kota Jakarta..

Wasalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Salam Rempug

Sabtu, 25 Desember 2010

Wafatnya Imam Besar Mujahid Majelis Kerempugan Ketua Umum FBR, KH. Fadhloli El Muhir, 29 Maret 2009



Minggu, 29 Maret 2009 Suasana haru dan duka menyelimuti rumah duka yang hingga kini terus dipenuhi ratusan pelayat yang mengenakan pakaian hitam.

Satu-persatu tampak pelayat yang menitikkan air mata saat melihat jenazah yang disemayamkan beserta melantunkan doa bersama. 

KH. Fadholi El Muhir meninggal dunia  di Rumah Sakit Harapan Kita, Grogol, Jakarta Barat di usia 48 tahun. Almarhum diindikasi mengidap sakit diabetes dan jantung.

Ribuan pelayat dari berbagai kalangan melayat di rumah duka Alim Ulama
 Imam Besar Almaghfurlah Ketua Umum Forum Betawi Rempug (FBR) KH. Fadholi El Muhir, di Penggilingan, Jakarta Timur sekaligus mantan anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA) RI

Almaghfurlah Alm. Ulama kelahiran 15 Februari 1961 memang Tokoh yang yg berpengaruh di Ibukota DKI Jakarta pada masa nya bersama FBR sebagai Organisasi Geobudaya Terbesar di Tanah Betawi. Karena lewat tangannyalah organisasi itu lahir dan kini menjadi besar. Ia menilai, kehadiran organisasi FBR itu diperlukan untuk membangkitkan semangat masyarakat Betawi agar bisa menjadi tuan rumah di kampungnya sendiri.

Almaghfurlah Alm. KH. Fadholi El Muhir mengaku bangga menjadi orang Betawi, dan bertekad akan terus memberikan yang terbaik bagi kemajuan masyarakat Betawi di masa depan. Harapannya ke depan masyarakat Betawi makin diperhitungkan keberadaannya dan semakin bermartabat di kampungnya sendiri.

Salam Rempug, mari kite lanjutkan perjuangan !


Jumat, 24 Desember 2010

K.H. Fadloli El Muhir (Tokoh Ulama Betawi, Benteng Aswaja, Sang Revolusioner of Batavia)


Dibantu seorang (Paraji), tepat pukul 14.00 pada tanggal 15 Februari 1961, tangis seorang bayi merah memecah kesunyian siang bolong di Pulo Jahe Kawasan Jakarta Timur. 

Sejumlah ibu-ibu segera berbondong-bondong menuju rumah Kyai Muhir dengan sang istri Hj. Maanih yang treletak di bibir gang, yang sekarang dikenal dengan Pedaengan Cakung. 

Mereka seakan ingin menyambut kehadiran bayi laki-laki yang akan menambah kebahagian keluarga Kyai Muhir.


Sebagai seorang kyai, Kyai Muhir segera melantunkan adzan di telinga kanan dan kiri bayi mungil itu. Ia seakan ingin menggoreskan catatan tinta emas kepada bayi yang masih seperti kertas putih. 

Dengan kebesaran nama Allah SWT. Ia berharap kepada anaknya ini, jika dewasa bisa menjadi khalifah (Wakil Allah) di bumi. Yang tidak saja bisa memakmurkan dunia, tetapi juga bias meletakkan karpet merah bagi setiap orang menuju kehidupan yang abadi negeri akherat.

Sebagai seorang Kyai yang lahir di Pulo Jahe, Kyai Muhir yang telah malang melintang menuntut ilmu dengan kalangan ulama dan kyai di sekitar Pulo Gadung dan Bekasi, memiliki tokoh idola seorang kyai besar dari Cikarang, yaitu K.H. Fadloli. 



Ia terkagum dengan kepandaian kyai ini dalam menguasai dan mentransfer ilmu agama dengan para santrinya. Metode yang ia terapkan untuk mendidik para santri, dirasakan sangat tepat dan menyejukkan setiap orang yang mengikuti pengajiannya. Karena kekagumannya itulah, Kyai Muhir bernadzar, bila kelak anak keenamnya ini lahir laki-laki, ia ingin member nama Fadloli


Selain sebagai bentuk penghormatan dan kekagumannya kepada K.H. Fadloli dari Cikarang, Kyai Muhir juga berharap anak bungsunya ini, kelak jika sudah dewasa bisa mewarisi kepandaian dan kepintaran ulama besar tersebut, khususnya di bidang agama. Fadloli yang lahir dan besar dalam kultur Betawi dididik dengan cara orang Betawi tempo dulu.


Begitu menamatkan pendidikan Sekolah Dasar (SD), Fadloli yang kala itu menjadi anak yatim, dititipkan oleh ibunya untuk belajar di Pesantren Az-Ziyadah, Klender. Ia mendapatkan bimbingan langsung dari Al-Maqfurah Abuya K.H. A. Zayadi Muhadjir, Ulama besar dikalangan Timur Jakarta. Di pesantren inilah, untuk pertama kali, Fadloli berpisah dengan ibunya dan mengenal secara langsung pendidikan pesantren yang jauh beda dengan pendidikan SD. Ia menjadi santri mukmin.


Pada tahun 1977, Fadloli meninggalkan Jakarta tempat kelahirannya untuk melanjutkan pendidikan di Pesantren Bany Latif Cibeber, Cilegon, Banten. Pesantren ini diasuh oleh K.H. Muhaimin Abdul Latief. Pesantren ini dikenal sebagai pesantren besar di Banten. Di pesantren ini juga sering dijadikan tempat perhelatan berbagai event besar di Cilegon yang berbau keagamaan. 



Ketertarikan Fadloli akan pendidikan berorganisasi membuat selanjutnya ia melanjutkan pendidikannya di Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri pimpinan K.H. Machrus Aly. Tepatnya tahun 1999, ia mempelopori berdirinya Gerakan Santri Indonesia (GSI), dimana Fadloli ditunjuk sebagai Imam Besarnya. 


Gerakan santri ini untuk mempelopori : gerakan menutup aurat (Satrul Aurah) ; gerakan mempersiapkan generasi pemegang tongkat estafet perjuangan masa depan (Naibul Masyayikh) ; gerakan anti maksiat dan dosa (tarikul ma’asyi) ; dan gerakan cinta perdamaian dan kebaikan (raghib fil khairat). Pada saat berada di bangku kuliah di Universitas Assafi’iyah Jakarta setelah menamatkan pendidikannya di Pesantren Lirboyo Kediri, ia bergabung dan dipilih sebagai Ketua Bidang Dakwah PB HMI Jakarta.


Ketika masih tiga partai di zaman Orde Baru, Kyai Fadloli pernah bergabung dengan PDI dibawah kepemimpinan Soeryadi. Ia memperkuat Majelis Muslimin Indonesia (MMI) yang kala itu diketuai oleh Dimy Haryanto dan Soegeng Saryadi, selaku Sekjen. Keterlibatannya di organisasi untuk derbouw PDI ini yang mengantarkan dirinya terpilih sebagai anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA) RI pada umur 37. 








Paradigma Baru Dakwah


Berangkat dari suatu keperihatinan terhadap nasib dan masa depan kaumnya secara struktural dan kultural menjadi terasing dan terpinggirkan di kampung halamannya sendiri. 



Sebagai kaum yang sadar akan hak, kewajiban, peran serta dan tanggung jawabnya kepada masyarakat, bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia, maka pada hari Minggu Legi, 8 Rabiul Tsani 1422 Hijriah, bertepatan dengan tanggal 29 Juli 2001 Masehi, 


FORUM BETAWI REMPUG lahir berdiri ditonggaki oleh beberapa agamawan muda Betawi diantaranya adalah K.H. Fadloli El Muhir, di Pondok Pesantren Yatim ”Zidatul Mubtadi’ien Cakung Jakarta Timur. Semenjak berdiri, keinginan kuat kaum Betawi dan para simpatisan di sekitar Jakarta, bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi untuk bersatu dan care dalam wadah FORUM BETAWI REMPUG. 

Walau FBR hanya sebuah organisasi massa lokal namun gerak langkah dan gayanya ”mendunia” karena dunia telah mengakui keberadaannya.


TUJUAN DIDIRIKANNYA FBR :

1. Membina hubungan persaudaraan yg kokoh di antara sesama masyarakat Betawi dan masyarakat lainnya demi terciptanya kehidupan yg aman, nyaman, dan damai serta bahagia dunia dan akhirat.

2. Membina hubungan kerjasama dgn pemerintah dan lainnya dlm melaksanakan upaya pemberdayaan masyarakat demi tercapainya kesejahteraan sosial.

3. Meningkatkan kualitas sumber daya masyarakat Betawi melalui pendidikan dan pelatihan keterampilan serta penyaluran kerja.
4. Meningkatkan peranan masyarakat Betawi dalam berbagai aspek kehidupan.
5. Melestarikan dan mengembangkan seni budaya Betawi sebagai bagian dari kebudayaan Nasional.
6. Melaksanakan Amar Ma'ruf dan Nahi Munkar, sesuai dgn ajaran agama.


VISI FBR :

Mengoptimalkan peran organisasi menuju kesejahteraan dan keadilan sosial serta tegaknya hukum bagi masyarakat Betawi dan masyarakat lainnya.


MISI FBR :

1. Mewujudkan dan membina masyarakat Betawi yang sadar hukum serta mengamalkan akhlak yang mulia.

2. Memperjuangkan aspirasi masyarakat Betawi menuju tegaknya hukum dan keadilan agar tercipta stabilitas, keamanan, dan ketertiban masyarakat.


Seirama dengan sikapnya yang tak menyenangi konfrontasi, Kyai Fadloli, tak pernah bosan melakukan konsolidasi dan pembinaan terhadap anggotanya agar dalam menyelesaikan masalah harus menempuh cara-cara procedural. 



Sebagai seorang kyai yang ditempa dengan nilai-nilai campuran antara tradisional di satu sisi dan moderenitas di sisi lain, ia secara jujur mengakui, memang ada anggota FBR dari kalangan “preman”, yang sebelum bergabung dengan FBR pernah melakukan tindakan anarkis. Mereka ini oleh Kyai Fadloli sengaja dirangkul, untuk dibina, agar mereka diberdayakan dan dikembalikan ke jalan yang benar. “Dan Alhamdulillah banyak diantara mereka yang masih bertato, sekarang rajin ke mesjid dan mencari penghasilan yang halal,” ungkapnya.


Bagi Kyai Fadloli, orang menjadi preman atau penjahat itu tak selamanya karena bersifat patologi, tetapi juga bisa karena lingkungan sekitarnya. Bila lingkungan social dan amsyarakatnya kurang memebrikan tempat yang layak kepada mereka, bisa saja mereka menjadi preman, sebagai bentuk protes terhadap lingkungannya. 



Karena itu bagi preman yang menjadi korban social, Kyai Fadloli dekati agar bisa dibina dan dikembalikan ke ajlan yang lurus. Sudah ribuan preman yang ia bina dan kini menjadi orang baik-baik di lingkungan masyarakatnya.


Dalam proyeksi Ketua Muhammadiyah Prof. Din Syamsudin, bila dakwah hanya ditujukan kepada kalangan umat, paling banter hanya bisa menjangkau 100 juta rakyat Indonesia. Lantas bagaimana dengan separuh rakyat Indonesia lainnya?