Jumat, 24 Desember 2010

K.H. Fadloli El Muhir (Tokoh Ulama Betawi, Benteng Aswaja, Sang Revolusioner of Batavia)


Dibantu seorang (Paraji), tepat pukul 14.00 pada tanggal 15 Februari 1961, tangis seorang bayi merah memecah kesunyian siang bolong di Pulo Jahe Kawasan Jakarta Timur. 

Sejumlah ibu-ibu segera berbondong-bondong menuju rumah Kyai Muhir dengan sang istri Hj. Maanih yang treletak di bibir gang, yang sekarang dikenal dengan Pedaengan Cakung. 

Mereka seakan ingin menyambut kehadiran bayi laki-laki yang akan menambah kebahagian keluarga Kyai Muhir.


Sebagai seorang kyai, Kyai Muhir segera melantunkan adzan di telinga kanan dan kiri bayi mungil itu. Ia seakan ingin menggoreskan catatan tinta emas kepada bayi yang masih seperti kertas putih. 

Dengan kebesaran nama Allah SWT. Ia berharap kepada anaknya ini, jika dewasa bisa menjadi khalifah (Wakil Allah) di bumi. Yang tidak saja bisa memakmurkan dunia, tetapi juga bias meletakkan karpet merah bagi setiap orang menuju kehidupan yang abadi negeri akherat.

Sebagai seorang Kyai yang lahir di Pulo Jahe, Kyai Muhir yang telah malang melintang menuntut ilmu dengan kalangan ulama dan kyai di sekitar Pulo Gadung dan Bekasi, memiliki tokoh idola seorang kyai besar dari Cikarang, yaitu K.H. Fadloli. 



Ia terkagum dengan kepandaian kyai ini dalam menguasai dan mentransfer ilmu agama dengan para santrinya. Metode yang ia terapkan untuk mendidik para santri, dirasakan sangat tepat dan menyejukkan setiap orang yang mengikuti pengajiannya. Karena kekagumannya itulah, Kyai Muhir bernadzar, bila kelak anak keenamnya ini lahir laki-laki, ia ingin member nama Fadloli


Selain sebagai bentuk penghormatan dan kekagumannya kepada K.H. Fadloli dari Cikarang, Kyai Muhir juga berharap anak bungsunya ini, kelak jika sudah dewasa bisa mewarisi kepandaian dan kepintaran ulama besar tersebut, khususnya di bidang agama. Fadloli yang lahir dan besar dalam kultur Betawi dididik dengan cara orang Betawi tempo dulu.


Begitu menamatkan pendidikan Sekolah Dasar (SD), Fadloli yang kala itu menjadi anak yatim, dititipkan oleh ibunya untuk belajar di Pesantren Az-Ziyadah, Klender. Ia mendapatkan bimbingan langsung dari Al-Maqfurah Abuya K.H. A. Zayadi Muhadjir, Ulama besar dikalangan Timur Jakarta. Di pesantren inilah, untuk pertama kali, Fadloli berpisah dengan ibunya dan mengenal secara langsung pendidikan pesantren yang jauh beda dengan pendidikan SD. Ia menjadi santri mukmin.


Pada tahun 1977, Fadloli meninggalkan Jakarta tempat kelahirannya untuk melanjutkan pendidikan di Pesantren Bany Latif Cibeber, Cilegon, Banten. Pesantren ini diasuh oleh K.H. Muhaimin Abdul Latief. Pesantren ini dikenal sebagai pesantren besar di Banten. Di pesantren ini juga sering dijadikan tempat perhelatan berbagai event besar di Cilegon yang berbau keagamaan. 



Ketertarikan Fadloli akan pendidikan berorganisasi membuat selanjutnya ia melanjutkan pendidikannya di Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri pimpinan K.H. Machrus Aly. Tepatnya tahun 1999, ia mempelopori berdirinya Gerakan Santri Indonesia (GSI), dimana Fadloli ditunjuk sebagai Imam Besarnya. 


Gerakan santri ini untuk mempelopori : gerakan menutup aurat (Satrul Aurah) ; gerakan mempersiapkan generasi pemegang tongkat estafet perjuangan masa depan (Naibul Masyayikh) ; gerakan anti maksiat dan dosa (tarikul ma’asyi) ; dan gerakan cinta perdamaian dan kebaikan (raghib fil khairat). Pada saat berada di bangku kuliah di Universitas Assafi’iyah Jakarta setelah menamatkan pendidikannya di Pesantren Lirboyo Kediri, ia bergabung dan dipilih sebagai Ketua Bidang Dakwah PB HMI Jakarta.


Ketika masih tiga partai di zaman Orde Baru, Kyai Fadloli pernah bergabung dengan PDI dibawah kepemimpinan Soeryadi. Ia memperkuat Majelis Muslimin Indonesia (MMI) yang kala itu diketuai oleh Dimy Haryanto dan Soegeng Saryadi, selaku Sekjen. Keterlibatannya di organisasi untuk derbouw PDI ini yang mengantarkan dirinya terpilih sebagai anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA) RI pada umur 37. 








Paradigma Baru Dakwah


Berangkat dari suatu keperihatinan terhadap nasib dan masa depan kaumnya secara struktural dan kultural menjadi terasing dan terpinggirkan di kampung halamannya sendiri. 



Sebagai kaum yang sadar akan hak, kewajiban, peran serta dan tanggung jawabnya kepada masyarakat, bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia, maka pada hari Minggu Legi, 8 Rabiul Tsani 1422 Hijriah, bertepatan dengan tanggal 29 Juli 2001 Masehi, 


FORUM BETAWI REMPUG lahir berdiri ditonggaki oleh beberapa agamawan muda Betawi diantaranya adalah K.H. Fadloli El Muhir, di Pondok Pesantren Yatim ”Zidatul Mubtadi’ien Cakung Jakarta Timur. Semenjak berdiri, keinginan kuat kaum Betawi dan para simpatisan di sekitar Jakarta, bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi untuk bersatu dan care dalam wadah FORUM BETAWI REMPUG. 

Walau FBR hanya sebuah organisasi massa lokal namun gerak langkah dan gayanya ”mendunia” karena dunia telah mengakui keberadaannya.


TUJUAN DIDIRIKANNYA FBR :

1. Membina hubungan persaudaraan yg kokoh di antara sesama masyarakat Betawi dan masyarakat lainnya demi terciptanya kehidupan yg aman, nyaman, dan damai serta bahagia dunia dan akhirat.

2. Membina hubungan kerjasama dgn pemerintah dan lainnya dlm melaksanakan upaya pemberdayaan masyarakat demi tercapainya kesejahteraan sosial.

3. Meningkatkan kualitas sumber daya masyarakat Betawi melalui pendidikan dan pelatihan keterampilan serta penyaluran kerja.
4. Meningkatkan peranan masyarakat Betawi dalam berbagai aspek kehidupan.
5. Melestarikan dan mengembangkan seni budaya Betawi sebagai bagian dari kebudayaan Nasional.
6. Melaksanakan Amar Ma'ruf dan Nahi Munkar, sesuai dgn ajaran agama.


VISI FBR :

Mengoptimalkan peran organisasi menuju kesejahteraan dan keadilan sosial serta tegaknya hukum bagi masyarakat Betawi dan masyarakat lainnya.


MISI FBR :

1. Mewujudkan dan membina masyarakat Betawi yang sadar hukum serta mengamalkan akhlak yang mulia.

2. Memperjuangkan aspirasi masyarakat Betawi menuju tegaknya hukum dan keadilan agar tercipta stabilitas, keamanan, dan ketertiban masyarakat.


Seirama dengan sikapnya yang tak menyenangi konfrontasi, Kyai Fadloli, tak pernah bosan melakukan konsolidasi dan pembinaan terhadap anggotanya agar dalam menyelesaikan masalah harus menempuh cara-cara procedural. 



Sebagai seorang kyai yang ditempa dengan nilai-nilai campuran antara tradisional di satu sisi dan moderenitas di sisi lain, ia secara jujur mengakui, memang ada anggota FBR dari kalangan “preman”, yang sebelum bergabung dengan FBR pernah melakukan tindakan anarkis. Mereka ini oleh Kyai Fadloli sengaja dirangkul, untuk dibina, agar mereka diberdayakan dan dikembalikan ke jalan yang benar. “Dan Alhamdulillah banyak diantara mereka yang masih bertato, sekarang rajin ke mesjid dan mencari penghasilan yang halal,” ungkapnya.


Bagi Kyai Fadloli, orang menjadi preman atau penjahat itu tak selamanya karena bersifat patologi, tetapi juga bisa karena lingkungan sekitarnya. Bila lingkungan social dan amsyarakatnya kurang memebrikan tempat yang layak kepada mereka, bisa saja mereka menjadi preman, sebagai bentuk protes terhadap lingkungannya. 



Karena itu bagi preman yang menjadi korban social, Kyai Fadloli dekati agar bisa dibina dan dikembalikan ke ajlan yang lurus. Sudah ribuan preman yang ia bina dan kini menjadi orang baik-baik di lingkungan masyarakatnya.


Dalam proyeksi Ketua Muhammadiyah Prof. Din Syamsudin, bila dakwah hanya ditujukan kepada kalangan umat, paling banter hanya bisa menjangkau 100 juta rakyat Indonesia. Lantas bagaimana dengan separuh rakyat Indonesia lainnya?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar